Ini jalan hidupku, sebuah cerita yang dirancang oleh Tuhan dan akan ku jalani. Aku tak tahu apa yang harus Aku lakukan, mungkin Aku tidak bisa melanjutkan belajarku lagi. Setelah ini Aku akan mengabdikan hidupku hanya untuk Ayah dan Ibuku. Aku juga tak tahu anak manis selisih 4 tahun dariku ini apa akan bernasib sama denganku, Apa dia masih bisa melanjutkan sekolahnya?. Dalam benakku, haruskah Aku berhenti sampai disini atau berjuang tanpa senjata?
Setiap pukul empat pagi saat sang fajar akan muncul, rumahku sudah ramai. Tetangga-tetangga yang masih berada di pulau kapuknya sangat berbeda dengan keluargaku. Aku membantu Ibu memasak pisang goreng, Ayah yang mengupas pisang dari kulitnya, Adik pertamaku yang mengaduk-aduk bumbunya dan si ragil yang masih ada di gendongan sang Ibu. Suatu hari ketika Kami sekeluarga bekerja, keluar celotehan Adikku, namanya Afi. “Ibu, kapan Afi dibelikan seragam baru? kata teman-teman Afi seragam ini sudah kumal dan kusam. Afi tampak seperti anak orang miskin yang beli seragam saja tak mampu.” Seketika suasana menjadi hening. Ayah dan Ibu terdiam dan Aku menyahuti pertanyaan Adikku “Tenang Fi, beberapa hari lagi seragammu pasti baru.” Dalam pikiranku, nanti ketika Aku sudah lulus SMA seragam putihku akan kuberikan pada Afi. “Beneran Kak?” Tanya Afi. Untuk meyakinkan, Aku hanya mengangguk.
“Orang bilang hidup itu untuk meraih sukses agar kita bahagia. Tapi, apa sukses itu? Apa bahagia itu?” Seolah-olah Aku tak tahu apa artinya. Hari itu, Aku minta libur membantu Ayah dan Ibu berjualan pisang goreng. Kaki yang seharusnya melangkah mengelilingi kampung, akhirnya libur sehari saja karena pengumuman kelulusan SMA. Aku dinyatakan lulus oleh pihak sekolah. Aku mendapatkan nilai nem tertinggi di sekolah, tapi nilai raportku ada yang sedikit merosot. Setelah Aku pulang dari sekolah, Ayahku menyambut dengan gembira, tampak raut wajah bahagia mendapat kabar anaknya lulus SMA. Beliau memelukku, dan mengajakku berbicara. Sepertinya, Aku tahu apa yang akan di bicarakan Ayah. Yaapp .. benar sekali. Beliau membesarkan hatiku dan selanjutnya melanjutkan “Maaf Gin, Ayah enggak mampu nguliahin Gina. Adikmu bentar lagi SMA, biayanya juga mahal. Uang Ayah kurang, mungkin Ayah juga enggak bisa nyekolahin Afi. Ayah harap Kamu bisa menyadari keadaan Ayah saat ini.” Aku mengiyakan apa yang Ayah bilang, dan Aku langsung masuk kamar. Serasa tersambar petir hati ini, rasanya nyesek sekali. Untuk apa selama ini Aku belajar dengan giat bila akhirnya berakhir di bangku SMA, dan mirisnya Adikku juga malah berhenti di bangku SMP. Pasrah yang aku rasakan, mungkin ini sudah jalanku tidak ikut SNMPTN garagara membantu Ibu yang waktu itu sedang sakit keras, tidak ikut SBMPTN garagara enggak punya biaya untuk pergi ke kota. Hmmm inilah jalan sang juara yang tak bisa melanjutkan sekolahnya.
Hari terus berganti, hari demi hari kujalani tuk mengabdi pada orangtuaku. Adikku akan disekolahkan bila uang orangtuaku sudah terkumpul. Namun nasibku masih saja digantungkan. Tiap hari Ku terus meminta pada Sang Kuasa agar diberi kesempatan seperti teman-teman lainnya yang bisa melanjutkan sekolahnya.
Suatu Hari, saat Aku tengah berjualan di sekitar sekolah SMA ku, Aku dipanggil oleh kepala sekolah untuk masuk ke ruangannya. Perkataan Ibu kepala sekolah membuatku tambah semangat. Beliau berkata bahwa ada perguruan tinggi luar negri yang merekrutku untuk sekolah disana. Mereka mengundangku dengan alasan karena selama ini aku dapat mempertahankan gelar juara umum di sekolah. Syukur Alhamdulillah terucap di bibirku, apalagi donatur sewaktuku sekolah di SMA mau membiayai keberangkatanku ke Singapura. Tapi hanya biaya berangkat, disanapun aku masih harus melakukan tes untuk mendapatkan beasiswa. Ini merupakan awal perjuanganku, Aku berlari pulang ke rumah dan meminta ijin pada Ibu dan Ayah. Awalnya mereka ragu melepaskanku, tapi setelah aku meyakinkan mereka bahwa Aku akan sungguh-sungguh mereka mengiklashkanku agar aku menimba ilmu di negri tetangga. Sebenarnya, Aku juga tak mampu meninggalkan Ayah dan Ibu. Aku berpikir, siapa nantinya yang akan membantu Ibu menjualkan pisang gorengnya. Bila Aku tak ada pasti Ibu akan keliling lagi, padahal Ibu baru sembuh dari sakit kerasnya.
Ini adalah pertama kalinya aku menaiki mobil semewah ini, Suzuki Swift merknya. Masih mengkilat putih dan bersih. Bak anak seorang raja, diantarkan sopir ke Bandara. Seperti mimpi rasanya, Aku tak tahu akan Ku balas memakai apa donatur yang baik hatinya ini. Aku hanya gadis miskin yang ingin berjuang mengubah nasib keluarga. Sepanjang perjalanan, Aku berpikir kelak bersama siapa Aku disana dan tinggal dimana Aku disana.
Aku berada di suatu tempat yang asing, tak punya siapa-siapa. Aku tak pernah membayangkan hidup sebatang kara seperti ini. Aku benar-benar sebatang kara, tak berteman dan keluarga. Berdiri di belantara tanpa Aku kenal. Hanya foto usang gambar Ayah dan Ibu yang aku pegang seolah olah mereka mendampingiku kemana Aku pergi. Sampailah Aku di Singapura, Aku melihat patung Air mancur merlion yang berdiri dengan gagahnya memancurkan air. Singapura kota bersih tanpa sampah, jauh sekali keadaannya seperti lingkungan rumahku yang kumuh. Aku duduk di bangku sendirian menikmati kota ini sambil makan sosis bakar yang kubeli tadi. Maksudnya berhemat, tapi disini semua makanan dijual mahal-mahal tapi kubelikan uang ini untuk mengisi perutku yang belum terisi nasi dari berangkat tadi. Pisang yang ada di ransel aku jaga untuk makanku esok hari. Mungkin uang sakuku hanya bisa untuk makan tiga kali saja. Aku harus mencari tempat tinggal dan bertahan hidup. “Kuliah dan sukses yang menjadi cita-citaku rasanya jauuuuhh sekali. Tapi, semangaat! Aku pasti bisa” itu dalam benakku.
Aku mengotak-atik smartphone satu-satunya, kado dari Ibu wali kelasku saat aku jadi juara kelas. Yah, walaupun punya handphone enggak pernah di isi pulsa gara-gara lebih memilih hidup tanpa Hp dibandingkan enggak bisa makan. Disitu aku menemukan Wifi, namanya “Mrs.Nancy”. Aku mengconnectkannya dengah handphoneku ini, tapi ternyata ada paswordnya. Beberapa menit kemudian, ada seorang Ibu-Ibu yang sedang mengelus-elus kucingnya yang dari tadi juga duduk selisih 2 kursi dari ku memberi tahu password dari wifi itu “Caty123” sahutnya. Mungkin dari tadi beliau mengamati gerak-gerikku. Aku memulai pembicaraan dengan Ibu itu “Thankyou for the password Mrs. Nancy”. Beliau menjawab “Sama-sama” ternyata beliau adalah keturunan orang Sumatera Utara yang hidup di Singapura bersama suaminya.
Aku menggunakan Wifi itu untuk mencari orang Indonesia yang seumuran denganku. Siapa tahu mereka baik, bisa membantuku mencarikan tempat tinggal. Tak lama kemudian, layar handphone ku muncul nama Sofi. Dan akhirnya, kita membuat janjian untuk ketemuan di kampus tempat akan Aku sekolah.
Aku bertemu dengan Sofi tepat pukul 12.00 di Kampus tempatku akan menimba ilmu. Ternyata, Sofi yang Aku temui adalah Sofi teman semasa SMA ku. Saat SMA, dia dikenal sebagai orang yang ramah, sopan, baik hati dan suka bergaul. Dia juga termasuk strata orang kaya, Sofi keturunan Tionghoa. Aku menceritakan pada Sofi kalau Aku berada di Singapur sendirian tanpa mengenal seorang satupun. Aku ingin mengikuti tes beasiswa kampus itu, namun Aku juga butuh tempat tinggal sementara. Aku merajuk Sofi agar Dia berbaik hati untuk menumpangiku hidup sementara selama di Singapura. Ternyata, Sofi membalas “Maaf Gin, Aku disini tinggalnya di asrama. Asrama ini khusus menampung semua mahasiswa – mahasiswinya yang berasal dari luar negri untuk tinggal disini. Bayarnya cukup mahal sih.” “Yaah pupus sudah keinginanku untuk mencari penginapan malam ini, harus tidur dimana aku sedangkan Aku tak kenal siapa-siapa disini. Ini kota orang, kalau Aku tidur dijalan apa tidak ditangkap polisi?” ceritaku pada Sofi. Seketika pembicaraan Kita berdua menjadi hening. Nampaknya, Sofi sedang memikirkan sesuatu. Sofi menyeretku untuk pergi ke asramanya. Awalnya Aku takut mengikuti apa yang dilakukan Sofi, karena inilah SIngapura kota yang terikat dengan banyak aturan. Di depan asramanya Sofi aja sudah ada tulisan “JUST STUDENT CAN ENTRY”. Di asrama Sofi, Aku melihat ada satpam yang sedang berlalulalang, badannya kekar dan ada kumis tebal menempel diatas bibirnya. Dalam pikirku menakutkan sekali orang itu, semacam narapidana yang pernah di shoot masuk televisi. Aku dan Sofi sangat nekat, Aku mengikuti apa yang diperintahkan Sofi. Saat itu, Aku sudah masuk di Asrama Sofi. Aku berpapasan dengan satpam, Dia menyapaku “good afternoon” tapi Aku tak menjawabnya sepatah kata saja. Aku langsung berjalan dengan santai, dan akhirnya Aku sampai di kamar Sofi. Legalaaahh perasaanku, karena daritadi deg-degan takut ketahuan.
Di dalam asrama, Aku berbincang-bincang dengan Sofi. “Eh sof, sampai kapan Kamu menyimpanku disini? Apa kamu tidak takut?” tanyaku. “Sudahlah, tenang saja. Itu urusan terakhir, Aku akan menyimpanmu sampai Kamu dapat tempat tinggal” jawab Sofi. “Makasih banyak loh Sof, nanti semua yang Kamu berikan untukku pasti Aku ganti”. “Sudahlah, enggak usah dipikir.” Jawab Sofi. “Oh ya Sof, besok Aku mau cari pekerjaan deh kalau gitu. Eh boleh minta tolong smskan tetanggaku gak? Beritahu untuk disampaikan ke orangtuaku kalau Aku sudah sampai di Singapur dan menginap di asramamu”. “Yaelaaah, masalah gampang itu Gin entar di smsin kok. Sekarang kamu tidur dulu aja” Tukas Sofi.
Keesokan harinya, Sofi berniat berangkat untuk ngampus. “Duluan yaa Gin, Aku tinggal sebentar”. Saat si Sofi mengambil tasnya, bersamaan ada suara gedoran pintu dari luar dengan keras. Aku bergegas bersembunyi di balik gorden kamar Sofi. Tapiiii .. yah sudah telat, sang satpam memergoki kakiku yang terlihat dibalik gorden. Satpam melaporkanku dan Sofi pada rektor Kampus. Saat itu, Aku deg-degan sekali, Aku takut akan terjadi apa-apa pada Sofi. Aku takut si Sofi di drop-out dari kampus. Aku berusaha menjelaskan pada Bu Rektor, Aku membela Sofi. Aku menceritakan kejadian yang sebenarnya. Aku cerita pada Bu rektor, kalau Aku mendapat undangan dari kampus untuk mengikuti tes beasiswa. Lalu, Bu rektor menjawab “Kami akan beri waktu sampai Kamu mendapat pengumuman kelulusan tes beasiswa tahap akhir. Dan Kamu juga dapat tinggal di asrama tapi ada syaratnya, kamu harus membayar uang sebesar 40.000 dolar dan harus mempunyai penjamin”. “Untuk apa penjamin bu?” Tanyaku. “Agar Kamu tidak lari dari tanggung jawab. Oh ya, syaratnya penjamin harus juga mahasiswa sini. Dia harus senior” jawab Bu rektor. Kemudian, Aku dan Sofi meninggalkan kantor rektor itu. Rasanya, runtuh hati ini mendengar uang yang harus kubayar sebanyak itu. Sedangkan, uang sakuku hanya tinggal 5 dolar. Untuk sementara, Aku meminjam uang pada Sofi dan Sofi meminjamiku walaupun tidak sepenuhnya.
Aku dibantu Sofi untuk mencari penjamin. Sofi punya kenalan orang Indonesia yang sekampus dengan kita, dan juga merupakan kakak tingkat. Sofi mengajakku untuk menemaninya menemui orang itu. Namanya Gamma, terlihat dari wajahnya dia adalah seorang yang mandiri. Aku pernha diceritain sama Sofi, kalau Gamma juga merupakan anak orang kaya tapi enggak mau dibiayain sekolahnya oleh orangtuanya. Sepertinya, Sofi sedang merayu Gamma agar mau dijadikan penjaminku selama Aku menjadi mahasiswa di Singapur ini. Aku pikir, dengan Aku pergi ke Singapur Aku diberi jalan yang lebih mudah. Tapi, sangat berbeda jauh dari apa yang Aku bayangkan. “Sini Gin, Aku kenalin ini namanya Gamma, Gamma ini kenalin namanya Gina. Jadi gimana Gam? Bisa bantuin?” bincang Sofi. “Aku harus tau Gina gak bakalan ngerepotin Aku selama kuliah dan kalau pingin Aku jadi penjaminnya, Aku butuh bukti kalau Gina gak bakal kabur dari Aku. Dan Aku harus tahu uang yang Gina punya berapa? Sumber keuangannya gimana? Ada pemasukan perbulan atau enggak, dan Aku harus tau laporan keuanganmu. Ini Singapur meeenn, bukan Bogor.” Jawab Gamma. Tanpa berpikir lama, Aku langsung mencatat laporan keuanganku dan memberikannya kepada Gamma. “Maaf Gam, kali ini Aku masih enggak bisa ngehubungin keluargaku, dan keuanganku cuma tinggal 5 Dolar saja.” Beritahu ku “Gilaaa … ini SIngapur meen, harus mandiri! Kalau uangmu habis, Kamu bakalan gimana? Nggantungin hidup loe di negri orang dan bakal ngarep gak pulang ke Indonesia? Enggak kan?”. Seketika saat Gamma berbicara seperti itu, Aku langsung memberikan dompetku pada Gamma dan berjanji kalau hari ini Aku bakalan ngisi dompet itu. Akhirnya, tanpa berpikir panjang lebar Aku langsung berlari untuk mencari pekerjaan.
Aku yakin, hari itu juga Aku akan mendapatkan pekerjaan. Tapi, apa yang Aku pikirkan saat itu sangat jauh berbeda dengan apa yang Aku dapat. Mencari pekerjaan di kota orang itu sulit sekali. Berjalan mondar-mandir, Berlari kesana-kemari tapi Aku belum juga mendapatkan pekerjaan. Yahh.. Aku harus mampu menepati janjiku pada Gamma, itu dalam benakku sekarang. Dari toko 1 ke toko 2, dari perusahaan 1 ke perusahaan 2 tetap saja di tolak meskipun harus mengikuti tes. Ternyata, di SIngapur ini semua terikat peraturan. Seorang siswa tidak boleh dipekerjakan, yang mau bekerja harus mempunya “Work permitted” / surat ijin bekerja dari pemerintah. Naah, itu sendiri sulit Aku dapat karena ini mendesak sekali. Aku sudah lelah, mungkin Aku enggak mampu menepati janji Gamma. Aku beristirahat sejenak di bangku sambil memandangi patung merlion itu, melihat air yang diluncurkan merlion itu membuat pikiranku lebih fresh dan termotivasi untuk lebih semangat. Di sebrang sana, AKu melihat karyawan-karyawan berbaju biru mondar-mandir untuk menawarkan donor darah. Jumlah karyawannya banyak sekali. Aku langsung berjalan menuju sana, Aku ingin bekerja disana. Tapi, Bosnya berkata “Maaf, semua yang ingin bekerja disini harus mempunyai work permitted.” “Iyaa.. nanti Saya akan mengurusnya setelah Saya diterima, Saya mohon Bu.” Jawabku sambil merayu. “Apa kamu seorang pelajar?” Tanya Ibu itu. “Iya, Saya seorang pelajar.” Jawabku. “Apalagi seorang pelajar, Kita tidak boleh memperkerjakan seorang pelajar tanpa ijin pemerintah sini. Bisa-bisa nanti Kami bisa dipenjara. Mempekrjakanmu, adalah melanggar hukum.” Lalu, Aku memohon-mohon pada Ibu itu, tapi “Hmm yasudah kalau begitu Bu, maaf mengganggu terimakasih.”Senyuman palsu yang Aku berikan pada Ibu itu.” 3 atau 4 langkah aku berjalan pulang, kemudian Ibu itu memanggilku “Come here, please.” Aku menghampirinya, ternyata Bu itu mau menerimaku menjadi karyawannya walaupun hanya diberi upah kecil untuk sehari. Aku menyelesaikan pekerjaanku, Aku mondar – mandir mencari donatur donor darah. Aku berpikir, Aku bekerja juga untuk mencari pahala karena mencarikan darah untuk orang yang membutuhkan.
Ini hari pertamaku bekerja, Aku harus kuat! Aku harus bersabar! . Setelah Aku mendapat gaji pertamaku, Aku langsung pergi ke Asrama untuk beristirahat sejenak dan belajar untuk tes esok hari. Lembar demi lembar buku ku baca, semua literature yang ku baca berbahasa inggris semua. Sedikit – sedikit Aku paham, walaupun kantuk dan lelah menghadang. Aku memperjuangkan nasibku, besok penentuan apakah Aku diteriman di kampus itu. Entahlah, bagaimana jadinya bila Aku tidak lulus dalam tes esok hari. Mungkin saja, Aku tidak pulang ke Bogor karena tida ada biaya. Aku berpikir bisa saja Aku menjadi gelandangan di negeri orang.
Tes sudah ku jalani, 3 jam kemudian pengumuman kelulusan. Sambil menunggu, Aku berangkat pergi ke tempat kerjaku untuk mencari donatur untuk didonasikan darahnya. Aku ingat kata Bu rektor kemarin, kalau seandainya ada yang dinyatakan lulus namun tidak ada mendaftarkan ulang dirinya 4 jam setelah pengumuman, Dia bisa – bisa dinyatakan hangus. Hari itu Aku mendapat donatur sangat banyak, Aku berpikir bila mendapat donatur tambah banyak bakalan dapat upah yang lebih besar juga. Aku pulang kerja lebih lambat dari biasanya, dan Aku lupa diri kalau Aku belum melihat pengumuman. Aku langsung berlari menuju kampus yang jaraknya agak jauh dari tempat kerjaku. Saat Aku sampai di gerbang kampus, Aku disambut oleh teman – temanku yang lain “Congratulation Gina” Aku tertegun mendengar itu, sedikit tidak percaya karena semalam Aku belajar sedikit tidak mengerti materinya. Aku akan merasa lega bila melihat pengumuman itu secara langsung, Aku langsung melangkahkan kakiku menuju papan display. Kaget yang Aku rasakan, Aku lulus tes beasiswa. Beasiswa itu meliputi potongan setengah biaya asrama, dan hanya peralatan tulis menulis saja. Aku langsung bersujud syukur. Aku lupa, Aku sudah lewat 4 jam dan belum mendaftarkan ulang diri. Fikiranku mulai amburadul, rasanya runtuh hati ini bila menyia-nyiakan suatu emas yang hamper saja setitik akan kuraih. Sambil kebingungan, Aku mempercepat kecepatan kaki ini dengan berlari dengan jangkauan yang jauh menuju kantor Bu rektor. Naasnya, kantor itu sudah tutup. Mungkin ini jalan tuhan yang diberikan kepadaku, sepertinya ini memang jalanku tidak bisa merubah nasib keluarga. Mungkin slogan ini bener “Orang miskin tidak bisa sukses”. Impian lamaku, yang ingin membanggakan, dan mengubah nasib keluargaku akan terkubur dalam-dalam di sanubariku. Rasanya sakit sekali.
Aku pulang ke asrama. Di perjalan pulang ke asrama, Aku bertemu Gamma. Gamma melontarkan kalimat “Selamat ya Gin, udah diterima di kampus ini.” “Mungkin ini bukan jalanku deh Gam, buat sekolah disini. Besok Aku mau nggelandang aja, rupanya Aku sudah di blacklist sama Bu rektor.” Jawabku dengan memasang muka merengut. “ Yaelahh Ginaaa, Aku udah ndaftar ulangin Kamu kok, kan Kamu pesen Aku buat jadi penjamin. Gimana sih? Kamu anggap apa Aku ini?” Jawab Gamma lalu mempukpukin pundakku dan menemaniku jalan ke asrama. “Muakasihh buanget loh Gam, Aku atau mesti ngebales apa ke Kamu.”
Saat Aku sudah sampai di kamar asrama, Aku kembali menulis ulang schedule prioritasku mulai jadwal kegiatan sampai laporan keuangan. Aku terus menghitung dan menghitung. Kalau dipikir – pikir, Setiap bekerja sejam Aku akan mendapatkan uang dua setengah dolar, sehari Aku bekerja sampai empat jam artinya sepuluh dolar sehari. Sebulan mendapat dua juta limaratus ribu rupiah, di Indonesia kelihatannya banyak . Tapi biaya disini serba mahal, dari beasiswa aja cuma dapet lima ratus ribu rupiah. Tidak cukup untuk biaya hidup selama di Singapur. Aku harus lebih irit dan rajin belajar, karena Aku tidak bisa mengharap uang transferan orangtuaku dan kedatangan orangtuaku. Ayah dan Ibuku kuno, ATM saja mungkin tidak tahu. Aku juga berpikir kalau mereka tidak akan menengokku kesini seperti Ibu Sofi ke SIngapura untuk menengok anaknya. Tiap bulan, Sofi mendapat uang saku dari ibunya, bahkan bila uang Sofi habis dia langsung menelpon orangtuanya dan dalam hitungan menit tak sampai berjam-jam orangtuanya langsung mengirimkan uangnya. Hmmm … sangat jauh jauh berbeda dengan keadaanku. Yah, syukur tetap ku panjatkan pada sang Kuasa, tak lupa tiap hari Aku juga sholat dan berdoa agar jalanku dilancarkan oleh Allah SWT.
Sudah dua bulan Aku hidup di SIngapura, hidupku tetap seperti ini saja tidak ada perubahan. Ada sedikit perubahan sih, Aku bisa menabung walaupun hanya satu dolar setiap harinya. Aku juga menjadi asisten dosen di kampusku. Teman – temanku di kampus juga tak segan untuk bertanya padaku bila ada kesulitan dalam belajar. Semacam tutor sebaya gitu, kadang juga aku dapat makan gratis dari teman-teman dari itu Aku bisa lebih berhemat. Aku selalu ingat kalau Aku di Singapur tujuanku untuk mengubah nasib keluargaku dan menimba ilmu bekal dunia dan akhirat. Pekerjaanku juga tetap, mecari donatur donasi darah. Walaupun gajinya cuma sedikit, Aku tetap kerja disana karena berpikir betapa sulitnya mencari pekerjaan di Singapur. Syukuri saja pikirku, lambat laun akan ada peningkatan.
Jam sudah menunjukkan pukul satu siang, waktunya Aku bekerja. Aku melangkahkan kaki dengan santai, karena arloji ditanganku masih menunjukkan pukul dua belas siang. Entah kenapa yang kurasakan jantungku berdebar, hatiku seolah menolak untuk melangkahkan kaki ini, kakiku menolak untuk melangkahkan lagi, pertanda apa ini. Aku terus melanjutkan jalanku untuk menyusuri jalan menuju tempat kerja. Sudah kuduga, perasaanku benar sekali. Polisi berdatangan dan memeriksa tempat kerjaku itu karena ada yang melaporkan bahwa ada seorang pelajar yang dipekerjakan disana. Untungnya Aku memakai jaket hitam. Aku langsung menutup seragam kerjaku dengan jaket itu dan bersikap santai kalau ada polisi berlalulalang. Setelah polisi menghilang, Aku mengahmpiri Ibu bos “Bu, ada apa ini?.” “Ada orang yang melaporkan kalau kita memperkejakan kamu, maaf Gina Kamu tidak bisa bekerja lagi disini.” “Yasudahlah Bu, terimakasih tidak apa – apa.” Senyum yang kuberikan pada Ibu itu. Lalu ibu itu menghampiriku dan memberikan sedikit pesangon untukku.
Aku memiliki janji di traktir makan siang oleh Gamma. Aku ingin mengkonsultasikan keadaanku saat ini. Aku menceritakan kejadian yang telah terjadi. Kata Gamma “Bersabarlah dahulu, nanti pasti ada gantinya.” Kali ini Aku hidup lebih irit lagi, bahkan sekarang setiap senin dan kamis Aku puasa untuk berhemat. Jika Aku meminjam uang pada Sofi, Aku takut di akhir tidak mampu untuk mengganti. Akhirnya, Aku memilih untuk menggunakan uangku sendiri. Setelah pulang dari makan siang bersama Gamma, Aku di asrama mengotak – atik laptop Sofi. Aku meminjam laptop Sofi untuk mencari lowongan kerja di Singapur. Aku menemukan sebuah blog, yang menjanjikan berapapun uang yang kita mau tapi dengan syarat kita harus menginvestasi barang kita semau kita. Aku tergiur dengan blog itu, lalu Aku menelponnya dan banyak bertanya. Aku memutuskan untuk pergi kesana setelah ngampus esok hari. “Eh Sof, Aku boleh tiitp file – file ku sementara gak? Soalnya Aku mau njual Hp Aku.” Kata ku pada Sofi. “Loh, kok dijual? Kalau emang butuh uang, Kamu bisa pinjam uangku dulu kok”, Balas Sofi. “Hmmm sudahlah Sof makasih, Aku sering ngerepotin Kamu, mending Aku merjuangin kehidupanku mandiri dulu. Aku takut enggak bisa ngebales kebaikanmu.” Jawab Aku. Aku memindahkan semua file – file penting yang ada di Hpku dan langsung beranjak ke pulau kapuk.
Esok harinya, setelah Aku ngampus Aku harus menemani temenku untuk mengajarinya mata kuliah yang dia anggap sulit. Gara – gara itu Aku enggak beli makan dengan uangku sendiri, Aku dibayarin temanku karena Aku menolak bila diberi upah, niatku hanya membantu kok bukan apa – apa. Setelah itu Aku beranjak meninggalkan kampus dan ke tempat toko orang jualan Handphone. Aku menjual handphoneku disitu. Harganya miring banget sih, tapi bisa ditambahin tabunganku yang sedolar per hari itu. Kemudian, Aku pergi ke loket kereta listrik untuk pergi ke alamat yang ada di blog kemarin yang Aku buka. Tepat sekali, disitu kantornya besar sekali. Di depannya terpampang mobil mewah, merah warnanya. Aku mendaftarkan diri pada kepala perusahaan itu. “Heeeiii Nona, ada perlu apa?” Tanya direktur sana. “Saya ingin menginvestasikan uang Saya, agar bisa mendapatkan uang” jawab Aku. “Memangnya berapa banyak uang yang Kamu butuhkan?” kata direktur. Aku menjawab “Cuma empat puluh ribu dolar kok Pak”, Aku menjawab . “Okelah kalau begitu, Kamu terdaftar di perusahaan ini, dan kalau KAmu berhasil mendapatkan 10 admin baru lagi Kamu akan mendapatkan bonus dari Saya.” Dengan itu, Aku pun termotivasi agar lebih giat bekerja dan mengimbanginya dengan belajarku, sholatku, dan kegiatan – kegiatan lainnya. Lalu, setelah daftar Aku kembali menaiki kereta listrik itu lagi. Aku menuju perpustakaan kampus untuk mencari literature untuk mengejarkan tugasku. Tempat yang sungguh luas sekali, Aku jadi ingat keluarga di rumah. Aku kangen mereka, Aku ingin mereka disini menyemangatiku dan menyaksikan Aku menjadi orang sukses. Tak lama kemudian, datanglah Gamma. Gamma mencariku sejak tadi, “Eh Gin, Hp mu dari tadi ku telpon kok gak di angkat?” “Hmmm Hpku dijual buat investasi” jawabku. Si Gamma langsung bertanya – Tanya padaku seolah-olah dia tidak percaya bahwa tempat kerja yang Aku duduki tidak resmi. Gamma langsung membuat perjanjian denganku agar tidak pulang sepulang dari Kampus. Gamma mengajakku membeli tiket kereta listrik. Entahlah Aku akan dibawa kemana, Aku hanya nurut saja karena dia adalah penjaminku. Kalau Gamma mengundurkan diri untuk menjadi penjaminku mungkin sudah malang nasibku untuk melanjutkan hidup di SIngapur. Tapi, tetap semangaatt! Sesampai Aku ditempat kantor perusahaan itu tetap saja didepan ada mobil mewah merah warnanya. Setelah Gamma masuk ruangan itu, Gamma berteriak memanggilku untuk ikutan masuk ke dalam. “Ginaaaa sini kamuuuu” Aku melangkahkan kakiku, dan naasnya pas setelah Saya masuk, Saya berpapasan dnegan polisi. Aku diberi penjelasan oleh Pak Polisi itu kalau perusahaan ini merupakan perusahaan tipu – tipuan. Dan legal tidak diresmikan oleh Negara. Bangku – bangku dan kursi semua sudah hancur dan semua lembaran lembaran terbang enggak karuan karena kotornya kelas ini. Nasib. Nasib mau hidup sejahtera eh malah jadi gini jadinya. Semua sudut ruangan kantor perusahaan itu diberi garis polisi, Aku berteriak dengan kencang dan menyesali perbuatan yang telah Aku perbuat.
“Sudahlah Gin, jangan disesali kalau sudah ya sudah mending Kita pulang dan cari jalan lain.” Sahut Gamma dan membantuku berdiri. Seakan tidak percaya akan terjadinya peristiwa ini. Rasa kesal dan menyesal meluap di dalam dada, Aku keluar dari ruangan perusahaan itu sambil mendorong Meja dan kursi sampai jatuh.
Tiba di gerbang asrama pukul enam sore. Saat Aku akan masuk ke gerbang pintu asrama, teman – temanku memberikan amplop amplop. Kira – kira, Aku hitung – hitung sebanyak 20 amplop yang Aku terima. Aku bingung kenapa mereka memberiku surat – surat, bilangnya sih “Titip buat besok, Aku enggak masuk ngampus.” Anehnya, asrama saat itu gelap gulita tak seperti biasa. Biasanya terang benderang dan jarang mati lampu seperti ini. Saat Aku masuk ke dalam pintu kamarku seperti ada yang aneh, tiba – tiba kunci kamar tidak cocok dimasukkan ke dalam lubangnya. Aku sudah sangat ngantuk, Aku cuci muka di kamar mandi umum asrama. Setelah Aku cuci muka, Aku kembali lagi ke kamar. Anehnya, kamarku kali ini tidak dikunci. Saat Aku masuk tiba – tiba lampu kaamar menyala terang dengan lilin – lilin dan ternyata ada surprice dari teman – temanku. Aku lupa kalau hari ini adalah ulangtahunku, Aku bahagia sekali memiliki mereka yang sudah perhatian dengaku. Kami merayakan ulangtahunku dengan pesta kecil – kecilan. Mereka memutuskan tidur di kamarku untuk semalam.
Pukul dua dini hari Aku berwudlhu untuk mengucap syukur atas yang diberikan Allah SWT padaku. Aku memuja – mujinya dan memohon kepadanya agar Aku bisa menyelesaikan tujuanku dengan lancar di SIngapur ini. Pagi itu Hp Sofi berbunyi, di tampilan layarnya nampaknya nomer telepon rumah bukan nomer Hp. Seingatku, Aku seperti kenal nomer yang ada di layar Hp Sofi. Aku mengangkatnya. Subhanallah, hati ini bergetar hingga air menetes dari mata ini. Suara Ibu yang Aku dengar, betapa kangennya Aku pada dirinya. Sudah lama tidak bertemu, sudah lama juga Aku tidak memeluknya. “ Ibuuuu gimana kabar Ibu, Aku kangen sekali sama Ibu” tukasku. “Ibu saying kamu nak, Ibu Alhamdulillah sehat, kamu baik – baik saja disanakan?.” Sejenak, Aku langsung teringat mata terindah, mata yang selalu bersinar untuk melindungiku, dan adik – adikku dari hujan dan panas memperjuangkan hidupnya. Peluh yang selalu menetes, dan jiwa kerja keras untuk menghidupi keluarganya sekelebat terbayang di otakku, Ayah. Aku juga kangen Ayah. Orangtuaku menelponku hanya kurang dari lima menit, diputuskan begitu saja. Harus berpikir positive, mungkin pulsanya habis. Setelah mendengar suara Ayah dan Ibu, Aku lebih termotivasi untuk menjalani hidup ini. Aku lebih semangat lagi dan melupakan kejadian yang terjadi kemarin. Semoga saja ucapan Ayah dan Ibu serta untaian doa nya dikabulkan oleh Allah. Lega rasanya mendengar suara mereka.
---
Aku di ajak Gamma keluar, sebagai penjamin Dia bertanggungjawab untuk menanggungjawabiku selama di Sngapura. Saat itu uangku hamper saja habis, mungkin saja hanya untuk sekali makan. Aku berkeliling mencari pekerjaan bersama Gamma. Mulai pagi sampai sore hasil yang Aku dapat nihil, semua toko dan perusahaan membutuhkan izin bekerja dan bukan seorang pelajar yang bekerja. Waktu menujukkan pukul empat sore, Gamma mengajakku makan. “Ayo makan dulu Gin, entar sakit kalo enggak makan.” Ajak Gamma. “Enggak Gam, Aku enggak makan dulu, Kamu aja yang makan uangku tinggal buat besok aja.” Jawabku. Setelah itu Aku menenmani Gamma makan. Pelayang megeluarkan menu makan untuk dua orang. Aku tertegun melihatnya, apa Gamma makan sebanyak ini. “Heh, Gin jangan dilihat mulu, makan tuh. Kasian nasinya diliatin aja, Kamu udah cungkring entar tambah cungkring kalau enggak makan.” Akhirnya Aku mau makan, dan berniat mengganti uang yang digunakan Gamma. Setelah makan, Gamma mengajakku ke suatu tempat. Ternyata itu tempat bekerjanya, dan Gamma memberikan pekerjaannya kepadaku dengan alas an besok dia sudah diwisuda.
Aku menyaksikan wisuda Gamma, dan ikut merasa bahagia sekali. Seperti ceritaku dia berjuang mandiri untuk mempertahankan hidupnya dan pendidikannya. Namun, bedanya dengan Aku, Aku belum lulus, dan doaku semoga saja Aku bisa mengikuti jejak Gamma.
Hari demi hari ku lewati, sepertinya ini pertama kalinya Aku sedang skait demam di Singapura. Pagi – pagi Aku tidak kuat untuk melangkahkan kakiku. Tiba – tiba, saat Aku akan keluar ternyata ada yang menggedor pintu kamarku. Akhirnya Aku membukakan pintu, diluar sudah berjajar polisi ingin menangkapku. Akhirnya Aku digiring ke kantor polisi untuk member keterangan lebih lanjut. Yahh.. disitu Aku disuruh member keterangan tentang blog penipuan yang saat itu Aku adalah korbannya. Yang ditipu adalah Saya, dan Saya tidak pernah melakukan bekerjasama dengan mereka. Gamma membelaku dan Aku langsung diperbolehkan untuk kembali pulang ke Asrama.
Kali ini Aku terpuruk sekali, seakan – akan tidak kuat untuk menjalani hidup di Singapura ini. Aku sednag sakit, Aku kangen Ayah, Ibu, dan Adik. Biasanya bila Aku sakit pasti ada yang merawat, tapi kali ini Aku hanyalah sebatang kara. Seperti tidak kuat bertahan hidup disini. Tiba – tiba ada yang mengetuk pintu kamarku lagi. Aku merasa kesal, serasa sedang sakit seharusnya beristirahat tapi ada aja yang mengganggu. Aku membukakan pintu kamarku dan setelah membukakan pintu itu tiba – tiba Aku pingsan.
Setelah Aku terbangun dari pingsanku, mataku reman – remang melihat seseorang yang selama ini Aku sayangi berada di depanku. “Apa itu Ibu?” kataku. “Iya, Ini Ibu sayangg..” Bahagia sekali orangtuaku bisa menengokku. Ternyata Ibu ke Singapura dibayari oleh Bosnya. Ibu juga memberi uang saku kepadaku untuk melanjutkan hidup di Singapura, karena sekitar 2 bulan lagi Aku akan lulus dan di wisuda. Ibu berharap, Aku bisa mendatangakan Ibu sekeluarga untuk menyaksikan wisudaku. Aku tak henti memeluknya, meluapkan rasa kangenku hingga mengeluarkan air mata seakan – akan tak ingin jauh darinya lagi. “ Ibu bahagia bisa nengokin Kamu disini nak, Ibu pernah melihat kegagalan yang lebih besar dari ini. Tapi semua akan lebih mudah kalau kita masih punya harapan. Hidup itu tidak cukup dengan hanya berhemat dan berhitung. Kamu harus selesaikan apa yang sudah kamu pilih Gina. Semangaat naaak. Ibu selalu mendoakanmu. Gina pasti bisa”
Aku lebih semangat lagi. Aku lebih giat belajar dan mencari sampingan kerja untuk mencukupi hidupku di Singapura ini. Aku diterima di perusahaan asuransi. Uang yang diberikan Ibu untuk bertahan hidup untuk mencari pekerjaan lagi. Mungkin ini adalah kesempatan kedua yang diberikan untukku. Kali ini Aku harus menyelesaikan semuanya. Mungkin Aku bukan yang paling kuat dan pandai, tapi Aku adalah yang gigih. Aku akan berjuang sampai akhir dan tidak akan menyerah.
Aku bekerja di perusahaan asuransi, disitu Aku memiliki schedule-schedule sangat banyak, karena semua diperhitungkan. Bila Aku mendapatkan customer banyak, berarti gaji yang diberikan padaku juga banyak. Jika uang empat puluh ribu dolar yang Aku butuhkan berarti. Aku dengan gigih, menawarkan asuransi mondar – mandir. Dan akhirnya, tepat H-4 Aku dapat menyelesaikan semuanya. Aku berhasil mengumpulkan empat puluh ribu dolar. Konsumen terakhirku Mrs. Nancy , yaitu orang pertama yang Aku kenal di Singapura ini. Dia mau menginvestasikan uangnya lebih dari yang Aku harapkan. Syukur yang Aku terucap di bibirku. Setelah Aku mendengar Mrs. Nancy mau nengasuransikan dirinya dengan harga yang tinggi, Aku langsung duduk dan sujud syukur. Seakan – akan rasanya lega sekali bila apa yang Aku lakukan semua ini ada hikamah semuanya dan tidak ada yang sia – sia.
Aku di wisuda dan berhasil memboyong Ayah, Ibu, dan adik – adikku. Aku berfoto bersama dengan keluarga. Nampak raut wajah bahagia pada mereka. Aku memeluknya dan mencium keduanya “Aku sayang Ibu dan Ayah” . Aku juga berterimakasih pada Sofi dan Gamma yang telah membantuku selama Aku di Singapura ini. Dan Akhirnya, Aku bisa pulang ke Indonesia dengan sukse dan bisa membiayai Adikku bersekolah.