Metrum Kinanthi dalam Serat Rama 07.248 M
Mardhayu
Wulan Sari
Kata
kunci: macapat, kinanthi, Serat Rama
Kesusastraan Jawa juga mengenal bentuk prosa dan
puisi seperti kesusastraan lainnya. Puisi Jawa dianggap lebih populer daripada
prosa Jawa serta menduduki tempat terpenting (Saputra, 2001: 2). Puisi Jawa didefinisikan
sebagai puisi yang ditulis dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa sendiri, masih
menurut Saputra, dibagi menjadi tiga, yakni bahasa Jawa Kuna, Jawa Tengahan,
dan bahasa Jawa Baru. Berdasarkan pengelompokan bahasa tersebut, bentuk pusi
yang hadir dikelompokkan menjadi:
1.
Puisi Jawa Kuna, yaitu kakawin.
2.
Puisi Jawa Tengahan, yaitu kidung,
dan
3.
Puisi Jawa Baru dibedakan mejadi :
    a. Puisi yang bertembang meliputi, tembang macapat, tembang tengahan,
dan 
        tembang gedhe. 
    b. Puisi yang tidak bertembang meliputi guritan, parikan, wangslan, dan singir.
Perbedaan
antara puisi bertembang dengan puisi tidak bertembang terletak pada cara
pembacaannya. Puisi bertembang dibaca berdasarkan susunan titilaras ‘notasi/nada’.
Tembang-tembang yang termasuk kelompok pusi bertembang adalah macapat, tembang tengahan, dan tembag gedhe.
1.
Tembang macapat asli meliputi dhandhanggula, asmaradana, sinom, durma, 
     pangkur,
mijil, kinanthi, maskumambang, dan pucung.
2.
Tembang tengahan meliputi jurudemung,
wirangrong, balabak, gambuh, dan
    megatruh.
3.
Tembang gedhe, yaitu girisa.
Teks
KR, bila dilihat dari nama pupuh
yang digunakan, termasuk pada kelompok macapat
asli. Oleh karena itu, penjelasan selanjutnya ditekankan pada jenis-jenis
tembang yang termasuk kelompok macapat
asli.
            Macapat diciptakan oleh para wali sebagai sarana menyebarkan
Islam di Jawa setelah berakhirnya kekuasaan Majapahit. Macapat memunyai kedudukan penting dalam sejarah
kesusatraan Jawa. Keunggulan tersebut disebabkan oleh: 1) Usia yang panjang
karena masih digunakan sampai sekarang; 2) Banyaknya tulisan-tulisan yang
dibingkai metrum macapat; 3)
Setelah periode kakawin Jawa
Kuna, macapat dianggap
sebagai satu-satunya bentuk susastra; 4) Hampir semua orang Jawa mengenal macapat. Bahkan tradisi sastra di
Madura, Sunda, Bali, dan Lombok juga mengenal macapat (Saputra, 2001: 104).
Masing-masing nama tembang macapat mempunyai pola
persajakan atau metrum yang berbeda. Macapat mempunyai pola persajakan yang
ketat karena berkaitan dengan cara melagukannya. Aturan dalam pola persajakan
macapat meliputi guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Guru gatra mengacu
pada jumlah baris dalam tiap bait, guru
wilangan mengacu pada jumlah suku kata dalam tiap baris, dan guru lagu mengacu pada bunyi vokal
terakhir dalam masing-masing baris. 
Serat Rama 07.248 M
            Serat
Rama merupakan salah satu judul naskah yang tersimpan di Museum Mpu
Tantular Sidoarjo. Naskah Serat Rama
hanya memuat satu buah teks, yaitu Serat
Rama. Teks Serat Rama ditulis
menggunakan aksara Jawa dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan adalah
bahasa Jawa Baru disertai beberapa kosakata yang berasal dari bahasa Jawa Kuno.
Serat Rama ditulis dalam media naskah
yang berbahan dluwang kulit kayu. Teks ini berbentuk macapat. Metrum yang
membingkai teks Serat Rama meliputi
dhangdhanggula, pangkor, srinata, kasmaran, danagung, sekaring tyas, dan
kinanthi. 
Metrum dhangdhanggula sama dengan dhandhanggula.
Penambahan bunyi /ng/ dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain dialek
atau kesalahan dengar yang terjadi saat proses penyalinan. Pangkor sama dengan
pangkur. Menurut Arps (1992:12), perubahan vokal /u/ dan /o/ serta /i/ dan /e/
lazim terjadi pada orang-orang Jawa yang tidak terbiasa menulis sehingga
menganggap vokal-vokal tersebut adalah sama. Selain nama pangkor, dalam Serat Rama juga ditemukan nama metrum
kawingkeng. Kawingkeng merupakan nama lain dari metrum pangkur. Baik pangkur
maupun kawingkeng mempunyai makna bagian belakang.  Srinata merupakan nama lain tembang sinom.
Hardjowirogo (1980:47—48) menulis beberapa nama lain untuk tembang sinom, yaitu
anom, ron kamal, taruna, srinata, pangrawit, dan logondhang. Metrum berikutnya,
kidanan, kasmaran, danagung, dan sekaring tyas merupakan nama lain asmaradana.
Dalam Serat Rama, metrum kinanthi
dituliskan menjadi kinanthih. 
Metrum
kinanthi meliputi guru gatra yang
terdiri atas enam baris, guru wilangan berjumlah
delapan pada masing-masing baris, dan guru
lagu terdiri atas u, i, a, i, a, dan i sehingga dapat dituliskan menjadi
8u, 8i, 8a, 8i, 8a, dan 8i. Metrum Kinanthi mempunyai tema kemesraan sehingga
banyak digunakan untuk menulis tembang tentang percintaan, nasihat, dan
keriangan hati. Kinanthi digunakan sebanyak satu kali pada Serat Rama. Dalam satu pupuh (bab) kinanthi terdapat delapan belas
bait. Metrum kinanthi tidak diterapkan pada Serat
Rama. Mengacu pada hasil
transliterasi, nampak bahwa jumlah baris dalam tiap bait terdiri atas lima,
empat, tiga, dua, bahkan satu baris. Kekurangtepatan dalam penulisan jumlah
baris berdampak pada jumlah suku kata dalam masing-masing baris sehingga perlu diadakan
perbaikan jumlah baris dan suku kata pada masing-masing bait metrum kinanthi.
Selain itu, bunyi vokal akhir pada masing-masing baris juga tidak seluruhnya
tepat sehingga juga perlu diperbaiki. Perbaikan jumlah baris, suku kata, dan
bunyi vokal terakhir pada masing-masing baris disajikan dalam bentuk tabel
perbandingan. Penyajian seperti ini diharapkan dapat memudahkan pembaca untuk
mengidentifikasi setiap perbaikan yang telah dilakukan. Selain menyajikan hasil
perbaikan, tabel perbandingan ini juga menyajikan terjemahan dalam bahasa
Indonesia dari masing-masing bait. Terjemahan yang dilakukan adalah terjemahan
kata per kata dan disajikan per baris seperti bentuk teks yang telah mengalami
perbaikan.
| 
   No.  | 
  
   Transliterasi
  Metrum Kinanthi dalam Serat Rama
  07.248 M  | 
  
   Perbaikan
  Bacaan Metrum Kinanthi dalam Serat Rama 07.248 M  | 
  
   Terjemahan
  Metrum Kinanthi dalam Serat Rama 07.248
  M  | 
 
| 
   1.     
    | 
  
   tan leŋŋĕnn ramma
  winuwus mraja daśamuḳa nĕŋgi manjiŋi …ṭa siniba,  iŋ paśowan para
  mantri rahwanna kenn aŋuṇdaŋa,  mantri maṇḍa yaksa
  sakti.  | 
  
   Tan lingen Rama
  winuwus,              Raja Dasamuka nenggi,             Manjing ing kutha
  sineba,              Ing pasowan para
  mantri,              Rahwana ken
  angundanga,             Mantri Mandha yaksa
  sakti.  | 
  
   Tersebutlah,
  tidak dikatakan oleh Rama, Raja
  Dasamuka menunggu, Masuk
  ke dalam kota, dilayani, Di
  tempat berkunjungnya para Menteri, Rahwana
  minta untuk mengundang, Menteri
  Mandha, raksasa sakti.  | 
 
| 
   2.     
    | 
  
   aran diyu maya tuḥu,  wiss wiŋ sulap daḥat
  pamre wus manḍĕk rahwanna nabda,  i diyu luŋaḥa haglis
  sadayyan tah lamunn ora katambin laksmanna mati.   | 
  
   Aran Diyu Maya tuhu,  Wis wong sulap dahat
  pamrih, Wus mandheg Rahwana
  nabda,  I Diyu lungaha aglis, Sadayan ta lamun ora,
   Katamban Laksmana
  mati.   | 
  
   Sungguh-sungguh
  bernama Diyu Maya, Orang
  selalu silau akan keuntungan, Rahwana
  telah berhenti bersabda, Segeralah
  Diyu pergi, Jika
  seluruhnya tidak, Diobati,
  Laksmana mati.  | 
 
| 
   3.     
    | 
  
   arupaḥah sira iku,  lwir rsi atapp iŋ
  marggi acaŋcaŋa hiŋ yujanna,  ŋuŋŋsiya denn ilĕss
  waŋ liŋ śampunni winĕkkas wĕkas kaŋ diyu maya tur bakti.  | 
  
   Arupaha sira iku,  Lwir resi ataping
  margi,  Acangcanga ing
  yujana,  Ngungsiya den iles
  wang ling,  Sampun i
  winekas-wekas,  Kang Diyu mayatur
  bakti.   | 
  
   Berubah
  wujudlah dia, Seperti
  resi yang berbaris di jalan, Akan
  mengikat pada tongkat pengukur jalan, Orang
  berkata pergilah sebab terinjak, Setelah
  berulang kali diberi pesan, Oleh
  Diyu Maya yang menghaturkan bakti.  | 
 
| 
   4.     
    | 
  
   maŋkana śampun
  tĕkkeŋŋu pamara ppandann iŋ marggi iŋ talaga malah mala,  iyya jro tuyyannya
  puti kaŋ buta ndan salen rupa,  lwir rĕsṣi atapp iŋ
  bakti.   | 
  
   Mangkana sampun
  tekengu, Pamara padha ning
  margi,  Ing talaga malah
  mala,  Iya jro tuyanya
  putih,  Kang buta ndan salin
  rupa,  Lwir resi ataping
  bakti.  | 
  
   Datang
  untuk memelihara hingga selesai, Pada
  berdatangan ke jalan, Sesampainya
  di telaga membersihkan diri, Ke
  dalam air yang berwarna putih, Kemudian
  raksasa berubah wujud, Menjadi
  resi yang memberi hormat.  | 
 
| 
   5.     
    | 
  
   irika hanommann rawu,
   amenta tuyyeŋ śaŋ
  rĕśe kaŋ jinnaluk nnaŋucap iki tatar ulle kaki gaṭwih amoŋŋ aŋiras ŋinumm iŋ
  talaga wari.  | 
  
   Irika Hanoman rawuh,  Aminta tuyeng sang
  resi,  Ikang jinaluk
  angucap,  Iki tatar uli kaki,  Gatha weh amung
  angiras,  Nginum ing talaga
  wari.  | 
  
   Kemudian
  Hanoman datang, Meminta
  air pada sang resi, Yang
  diminta berkata, Tidak
  boleh pada laki-laki ini, Lalu
  memberi wadah air, Minum
  air di telaga.   | 
 
| 
   6.     
    | 
  
   yyan siryarśa ŋinom
  bañu,  lah mriŋŋa talaga
  kaki nomman wus maraŋ talaga,  lagyah añawokiŋ wari
  taṇdra naṭa baya pĕṭak agĕŋi kagiri giri.  | 
  
   Yan siryarsa nginum
  banyu,  Lah mringa talaga
  kaki,  Noman wus mareng
  talaga,  Lagya anyawuking
  wari,  Tandra nata baya
  pethak,  Ageng ika giri-giri.  | 
  
   Wajahnya
  condong ketika minum air, Lah,
  laki-laki di telaga, Hanoman
  telah tiba ke telaga, Baru
  saja menciduk air dengan tangan, Kemudian
  raja buaya putih, Yang
  besar itu tergesa-gesa.  | 
 
| 
   7.     
    | 
  
   anarap saŋ nomman ṣampun
  kula maŋke sapu aŋin yann iŋ jro gĕrba buwana, marutsuta tan wreŋ
  gati ndan ŋrok gĕrbajol kaŋ bĕḍḍa,  murkaŋ waŋke tatur
  kaksi.  | 
  
   Anarap sang Noman
  sampun,  Kula mangke sapu
  angin,  Yan ing jro gerba
  buwana,  Marutsuta tan wreng
  gati, Ndan ngruk[1][MWS5] 
  garbajul[2]
  kang bedhah,  Mor kang wangke tatu
  kaksi.  | 
  
   Sang
  Hanoman telah berbaris berderet, Aku
  Sapu angin, Jika
  di dalam perut bumi, Marutsuta
  tidak benar-benar takut, Kemudian
  mengorek perut buaya yang sobek, Dijadikan
  satu dengan bangkai yang nampak luka-luka.  | 
 
| 
   8.     
    | 
  
   pjahhi śaŋ bajul
  nĕŋgu,  dadya istri ayu
  lĕwire… nomman ṣapa sira,  sahornnya ŋwaŋ
  widadyari kĕnniŋ satya,  iŋ hyaŋ ŋindra,  mila dadya bajul
  puti.  | 
  
   Pejahe sang bajul
  nenggu,  Dadya istri ayu
  lwire, … Noman sapa sira,  Saurnya ngwang
  widadyari,  Keneng satya ing
  Hyang Indra,  Mila dadya bajul
  putih.  | 
  
   Menunggu
  kematian sang buaya, Seperti
  menjadi wanita cantik, Hanoman
  menyumpahinya, Seorang
  bidadari menjawab, Ketulusan
  Dewa Indra sampai padanya, Sehingga
  jadilah buaya putih.  | 
 
| 
   9.     
    | 
  
   yyeŋsun ṣakiŋ
  swarggiŋ daŋu,  aŋruśak swargga
  dewadi yyeki margganni dinakan dadya buwayanniŋ reki jro talaga malah mala,  milweŋŋ waŋŋ ajri kapati.  | 
  
   Yengsun saking swargi
  ng dangu,  Angrusak swarga
  dewadi,  Yeki margani dinakan,
   Dadya buwaya ning
  reki,  Jro talaga mala-mala,
   Milweng ngwang ajrih
  kapati.  | 
  
   Ya,
  aku lama berada di surga, Merusak
  surga dewata yang indah, Ya,
  inilah sebabnya siang hari, Dia
  menjadi buaya, Bahkan
  dalam telaga yang kotor, Orang
  yang ikut takut terbunuh.  | 
 
| 
   10.    | 
  
   pann age ruwatĕnn
  iŋsun sira tkeŋ talageki tuḥwa yan kaŋ tan won pjah kabe paḍa den patinni
  wetniŋ age aruwatta,  pan lawas kamalan
  mammi.  | 
  
   Pan age ruwaten
  ingsun,  Sira tekeng talageki,
   Tuhwa yan kang tan
  won pejah,  Kabeh padha den
  patina,  Wit ning age
  angruwata,  Pan lawas kamalan
  mami.  | 
  
   Segera
  bebaskan aku, Dia
  datang dari telaga ini, Jika
  benar-benar tidak mati, Maka
  bunuhlah semua, Mulailah
  segera, membebaskan, Amalan
  untuk selamanya.  | 
 
| 
   11.    | 
  
   adaŋuh maŋke anĕŋgu,  matyanni kamalan mami
  kaŋ aŋrowattiŋ patala,  akaryya waluya mammi
  kaṭa maŋke utaŋŋiŋ ŋwaŋ,  si hanommann anak
  mami.  | 
  
   Adangu mangke
  anenggu,  Matyani kamalan mami,
   Kang angruwat ing
  patala,  Akarya waluya mami,  Kathah mangke utang
  ing ngwang,  Si Hanoman anak mami.  | 
  
   Nantinya
  lama menunggu, Menyudahi
  amalanku, Yang
  membebaskan di perut bumi, Aku
  kembali pulih dan bekerja, Banyak
  berhutang pada orang, Si
  Hanoman anakku.  | 
 
| 
   12.    | 
  
   lah patinnana karuḥun
  kaŋ diyu awarna rĕśe maŋke iŋoŋ aŋantiya,  kaŋ kenin tandra
  ŋastuti sakĕḍḍap tandra pan dandan maligi tuṇḍa saptaddi.  | 
  
   Sang Pawanasuta
  matur,  Sampun pinahosan
  malih,  Pan dasi dados
  lantaran,  Sadaya reh saking
  Widi, Balika yan awi losa,  Tan dangumbata ing
  mangke.  | 
  
   Sang
  Pawanasuta berkata, Telah
  dihias kembali, Karena
  pelayanlah yang menyebabkan, Semua
  keadaan berasal dari Tuhan, Silakan
  kembali jika akan pergi, Tidak
  butuh waktu lama untuk menembok.  | 
 
| 
   13.    | 
  
   śaŋ widadyari aluŋgu,
   aning maliŋgih tuṇḍas
  sri,  saŋ anomman taṇdra
  keśa,  maraŋ śaŋŋ amiṇḍa rĕsṣi
  tka luŋgwiŋ bali aṇḍap campakah basa jiwarṇni.  | 
  
   Sang widadyari
  amuwus,  Apwa[3]
  sira walang ati,  Mangsing[4]
  ngwang tan wreng sikara,  Mapan ka Alengka
  wruhi,  Sare sang Rama
  Laksmana,  Kang aprang tan samar
  mami.  | 
  
   Sang
  bidadari berkata, Mempesilakan,
  dia khawatir, Mustahil
  menganiaya orang yang tidak takut,  Diketahui bersiap ke Alengka, Tidurlah
  sang Rama Laksmana, Aku
  tidak merahasiakan peperangan.  | 
 
| 
   14.    | 
  
   lah patinnana karuḥun
  kaŋ diyu awarna rĕśe maŋke iŋoŋ aŋantiya,  kaŋ kenin tandra
  ŋastuti sakĕḍḍap tandra pan dandan maligi tuṇḍa saptaddi.   | 
  
   Lah patinana karuhun,
   Kang Diyu awarna
  resi,  Mangke ingong
  angantiya,  Kang kenen tandra
  ngastuti,  Sakedhap tandra pan
  dandan,  Malige tundha
  saptadi.  | 
  
   Lah
  bunuhlah dulu, Resi
  yang menyerupai Diyu, Saya
  akan menunggu nanti, Yang
  diperintah segera menyembah, Sekejap
  kemudian menghias, Mahligai
  tujuh tingkat yang indah.  | 
 
| 
   15.    | 
  
   śaŋ widadyari aluŋgu,
   aning maliŋgih tuṇḍas
  sri,  saŋ anomman taṇdra
  keśa,  maraŋ śaŋŋ amiṇḍa rĕsṣi
  tka luŋgwiŋ bali aṇḍap campakah basa jiwarṇni.  | 
  
   Sang widadyari
  alungguh,  Aneng malinge tunda
  sri,  Sang Hanoman tandra
  kesah,  Marang sang amindha
  resi,  Teka lunggwing bali
  andhap,  Campaka basaji[5]
  warni.  | 
  
   Sang
  bidadari duduk, Di
  singgasana bertingkat milik raja, Sang
  Hanoman segera pergi, Menemui
  Resi Amindha, Datang,
  duduk di bawah kemudian kembali, Menyajikan
  beragam bahasa dan cempaka.  | 
 
| 
   16.    | 
  
   śaŋ diyu rĕssi
  kadulu,  saŋ anomman deṇ
  caranni leŋŋ ikaki mariniya,  aliŋgiya sanḍiŋ
  mammi,  sapwaŋin mara arupa
  kadya woŋŋ arĕp ambakti.   | 
  
   Sang Diyu resi
  kadulu,  Sang Hanoman den
  carani[6],
   Ling ikaki mariniya,  Alinggiha sandhing
  mami,  Sapwangin mara arupa,
   Kadya wong arep
  ambakti.  | 
  
   Sang
  resi terlihat seperti Diyu, Sebab
  sang Hanoman mengintai, Laki-laki
  tua berkata akan datang, Duduklah
  di sampingku, Sapwangin
  datang dalam wujud, Seperti
  orang memberi hormat.  | 
 
| 
   17.    | 
  
   tandra śaŋ rsi den
  pĕluk kaŋ cinĕkkĕllan pan dadi danawa ruśa sakala nomman pann aguŋ awake kaŋ
  buta binantiŋ śigra wus rĕmmĕk rata lan bumi.   | 
  
   Tandra sang resi den
  peluk,  Kang cinekelan pan
  dadi,  Danawa rusa sakala,  Noman pan agung
  awake,  Kang buta binanting
  sigra,  Wus remek rata lan
  bumi.  | 
  
   Segera
  sang resi memeluk, Yang
  dipegangnya menjadi, Rusa
  raksasa semuanya, Hanoman
  yang besar badannya, Raksasa
  segera dibantingnya, Kemudian
  hancur rata dengan bumi.  | 
 
| 
   18.    | 
  
   sapjahe buta wa…pul nomman maraŋ widadyari amintah
  tinaṇḍaŋ mĕrta,  reh śaŋ lĕksmana akanin apan pranna curnan nira,  yan sisippah tmah mati.  | 
  
   Sapjahe buta wa…pul,  Noman marang
  widadyari,  Aminta tinandhang
  merta,  Reh sang Laksmana
  akanin,  Apan prana curna
  nira,  Yan sisipa temah
  mati.  | 
  
   Setelah
  kematian raksasa…, Hanoman
  mendatangi bidadari, Meminta
  mengirim kabar, Sang
  laksmana memerintah, Sebab
  kehidupannya rusak, Jika
  salah akan mati.  | 
 
            Pada bait satu, terdapat tanda titik
yang digunakan untuk menuliskan teks yang tidak terbaca karena naskah rusak. Pada
perbaikan teks bait satu, suku kata yang hilang dapat diidentifikasi dengan
melihat konteks kalimatnya, yaitu kata kutha
‘kota, tempat yang dikelilingi tembok’. Perbaikan pada bunyi vokal terakhir
pada suatu baris dapat dijumpai pada bait dua. Kata pamre diubah menjadi pamrih
untuk mengikuti aturan guru lagu pada
baris kedua metrum kinanthi, yaitu /i/.
            Perbaikan metrum kinanthi pada Serat Rama meliputi jumlah baris, jumlah
suku kata tiap baris, dan bunyi vokal terakhir pada masing-masing baris. Dalam
menyajikan bentuk teks yang sesuai dengan metrum kinanthi, dilakukan
penghitungan suku kata untuk masing-masing baris. Perbaikan yang paling sedikit
dilakukan adalah perbaikan pada bunyi vokal terakhir pada suatu baris.
Ditemukan hanya satu bunyi vokal terakhir yang perlu diperbaiki, yaitu kata pamre menjadi pamrih.
Arps, Bernard.
1992. Tembang in Two Traditions:
Performance and Interpretation of Javanese 
Literature. London: School
of Oriental and African Studies (University of London).
Hardjowirogo, R.
1980. Pathokaning Nyekaraken.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan 
Kebudayaan.
Prawiroatmojo,
S. 1981. Bausastra Jawa-Indonesia.
Jakarta: Gunung Agung.
Saputra, Karsono
H. 2001a. Puisi Jawa. Jakarta:
Wedatama Widya Sarana.
________________.
2001b. Sekar Macapat. Jakarta:
Wedatama Widya Sarana.
Sari, Mardhayu
Wulan. 2015. Repertoire dalam Serat
Rama: Suntingan Teks, Terjemahan, dan 
Kajian Respon Estetik Wolfgang Iser.
Tesis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
[1] Kata ngruk berasal dari ngeruk.
[2] Kata garbajul berasal dari garbha dan bajul
[3] Kata
apwa seharusnya apuwa ‘mempersilakan’. Hilangnya satu suku kata karena mengikuti
aturan metrum.
[4] Kata
mangsing berasal dari mangsi + ing
[5] Basaji berasal dari
kata basa dan saji.
[6] Akhiran
-i digunakan untuk mengikuti aturan metrum.
[MWS1]Judul merupakan gambaran dari keseluruhan artikel. Judul ditulis menggunakan jenis kata benda. Judul memuat informasi tentang objek, masalah yang mengarah pada teori yang digunakan dan metode. Pada contoh, objeknya adalah Serat Rama. Permasalahan yang diangkat adalah struktur metrum kinanthi sehingga teori yang digunakan adalah teori struktur tembang macapat untuk metrum kinanthi.
[MWS2]Abstrak berisi ringkasan tulisan yang dibuat. Hal-hal yang perlu dituliskan dalam abstrak adalah objek tulisan/penelitian, rumusan masalah, tujuan penulisan/penelitian, metode, landasan teori, dan kesimpulan.
Penulisan abstrak harus disertai kata kunci. Yang dimaksud dengan kata kunci adalah kata yang penggunaannya sering/ kemunculannya sering dalam sebuaah tulisan. Kata kunci yang dituliskan dapat berjumlah tiga, lima, atau tujuh.
Pada contoh artikel ini, abstrak ditulis dalam 140 kata. Namun, standar penulisan abstrak yang sering dijumpai berjumlah 200—300 kata.
Pada dasarnya penulisan artikel ilmiah dan makalah tidak berbeda. Perbedaan hanya terdapat pada sistematika penyajiannya. Jika membaca sebuah artikel, Anda dapat dengan mudah mengidentifikasi bagian-bagian dari artikel tersebut, manakah yang termasuk pendahuluan, isi, dan penutup.
Pada bab Pengantar, isinya meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan, metode, dan teori yang digunakan. Paragraf ditulis dari hal yang bersifat umum ke khusus. Yang dimaksud hal khusus adalah hal-hal yang berhubungan dengan objek tulisan/penelitian.