2.1
Perbedaan Gratifikasi dan Suap
2.1.1
Gratifikasi dan Suap
a. Gratifikasi
Pengertian gratifikasi terdapat
pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa:
“Yang dimaksud dengan ”gratifikasi”
dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang,
barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar
negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik”.
Apabila dicermati penjelasan pasal
12B Ayat (1) di atas, kalimat yang termasuk definisi gratifikasi adalah sebatas
kalimat: pemberian dalam arti luas, sedangkan kalimat setelah itu merupakan
bentukbentuk gratifikasi. Dari penjelasan pasal 12B Ayat (1) juga dapat dilihat
bahwa pengertian gratifikasi mempunyai makna yang netral, artinya tidak
terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata gratifikasi tersebut.
Apabila penjelasan ini dihubungkan dengan rumusan pasal 12B dapat dipahami
bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan hanya
gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur pasal 12B saja. Uraian lebih
lanjut mengenai hal ini dapat dilihat pada bagian selanjutnya.
b. Suap
Penyuapan (atau suap saja) adalah tindakan
memberikan uang, barang atau bentuk lain dari
pembalasan dari pemberi suap kepada penerima suap yang dilakukan untuk mengubah
sikap penerima atas kepentingan/minat si pemberi, walaupun sikap tersebut
berlawanan dengan penerima. Dalam kamus hukum Black's Law Dictionary, penyuapan diartikan
sebagai tindakan menawarkan, memberikan, menerima, atau meminta nilai dari
suatu barang untuk mempengaruhi tindakan pegawai lembaga atau sejenisnya yang
bertanggung jawab atas kebijakan umum atau peraturan hukum
Penyuapan juga didefinisikan dalam Undang-undang Nomor 11
Tahun 1980 sebagai tindakan "memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau
kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum"; juga "menerima
sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa
pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau
kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum"
2.1.2
Landasan
Hukum
Pengaturan
tentang gratifikasi berdasarkan penjelasan sebelumnya diperlukan untuk mencegah
terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau
pegawai negeri. melalui pengaturan ini diharapkan penyelenggara negara atau
pegawai negeri dan masyarakat dapat mengambil langkah-langkah yang tepat, yaitu
menolak atau segera melaporkan gratifikasi yang diterimanya. Secara khusus
gratifikasi ini diatur dalam:
-
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001,tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 12B:
1. Setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
yang nilainya Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan
merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b.
yang nilainya kurang dari Rp.
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap
dilakukan oleh penuntut umum.
2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara
negara sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Penjelasan
Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Yang dimaksud
dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian
uang, barang, rabat, komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima didalam negeri maupun di luar negeri
dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronika atau tanpa sarana
elektronika.
Pasal
12C:
1.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku jika
penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
3.
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan, wajib menetapkan gratifikasi
dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
4.
Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
-
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Pasal
16:
Setiap pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi, dengan tata cara sebagai berikut :
a)
Laporan disampaikan secara tertulis
dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi.
b)
Formulir sebagaimana dimaksud pada huruf
a sekurangkurangnya memuat :
1) nama dan alamat lengkap penerima dan
pemberi gratifikasi;
2) jabatan pegawai negeri atau
penyelenggara negara;
3) tempat dan waktu penerimaan
gratifikasi;
4) uraian jenis gratifikasi yang
diterima; dan
5) nilai gratifikasi yang diterima
Penjelasan pasal 16 menyebutkan
bahwa Ketentuan dalam Pasal ini mengatur mengenai tata cara pelaporan dan
penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Berikut Perbedaan Gratifikasi dan
Suap
No |
Item |
Gratifikasi |
Suap |
1. |
Aturan |
1. Undang-undang No.
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta diatur pula dalam Undang-Undang No.
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (“UU Pemberantasan
Tipikor”) 2. Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang
Berasal Dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi. |
1. Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73) 2. Undang-Undang No.
11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (“UU 11/1980”) 3. Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi serta diatur pula dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”) |
2. |
Definisi |
Dalam penjelasan Pasal 12B Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 à makna Pemberian
dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi
tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang
dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik
() |
Dalam penjelasan Pasal 3
Undang-Undang No. 11 Tahun 1980 à
Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia
mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu
dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam
tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut
kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara
selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.-
(lima belas juta rupiah) . |
3. |
Sanksi |
Pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (Pasal 12B
ayat [2] UU Pembe |
UU 11/1980: Pidana penjara selama-lamanya 3
(tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta
rupiah) (Pasal 3 UU 3/1980). KUHP: pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah (Pasal
149) UU Pemberantasan Tipikor: Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana
denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui
atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang
menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan
dengan jabatannya(Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor). |
4. |
Bentuk |
1.
Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya
keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya; 2.
Pemberian hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari
pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut; 3.
Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk
keperluan pribadi secara cuma-cuma; 4.
Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang
dari rekanan; 5.
Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat; 6.
Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya
dari rekanan; 7.
Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja; 8.
Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah
dibantu; 9.
Pembiayaan kunjungan kerja bagi lembaga legislatif; 10.
Pemberian cinderamata bagi guru (PNS) setelah pembagian
rapor/kelulusan; 11.
Pemberian sejumlah uang atau fee 10-20 persen dari nilai proyek kepada
pejabat; 12.
Pemberian parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha ke
pejabat; 13.
Pembiayaan perjalanan wisata bagi bupati menjelang akhir jabatan; 14.
Pemberian uang tambahan untuk pengurusan KTP/SIM/Paspor supaya bisa
“dipercepat”; 15.
Pembiayaan konferensi internasional bagi para pejabat yang terkadang
jumlahnya tidak masuk akal; 16.
Pembiayaan pembangunan tempat ibadah di kantor pemerintah (karena
biasanya sudah tersedia anggaran untuk pembangunan tempat ibadah dimana
anggaran tersebut harus dipergunakan sesuai dengan pos anggaran dan keperluan
tambahan dana dapat menggunakan kotak amal); 17.
Penerimaan uang retribusi untuk masuk pelabuhan tanpa tiket yang
dilakukan oleh Instansi Pelabuhan, Dinas Perhubungan, dan Dinas Pendapatan
Daerah; 18.
Penerimaan pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti
dengan tujuan sumbangan tidak jelas. Oknum yang terlibat bisa jadi dari
petugas kepolisian (Polisi Lalu Lintas), retribusi (Dinas Pendapatan Daerah),
LLAJR (Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya), dan masyarakat (preman). |
1.
Pemberian uang sogok agar dipermudah suatu pengurusan 2.
Pemberian barang-barang tertentu yang bernilai ekonomis dan dapat
diperjual belikan kembali |
2.1.3
Kategori Gratifikasi dan Suap
Penerimaan gratifikasi dapat
dikategorikan menjadi dua kategori yaitu Gratifikasi yang Dianggap Suap dan
Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yaitu:
1. Gratifikasi
yang Dianggap Suap
Yaitu Gratifikasi yang diterima
oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Gratifikasi
yang Tidak Dianggap Suap.
Yaitu Gratifikasi yang diterima
oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang berhubungan dengan jabatan
dan tidak berlawanan dengan kawajiban atau tugasnya sebagaimana dimaksud dalam
dalam Pasal 12 B UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kegiatan resmi Pegawai Negeri atau
Penyelenggara Negara yang sah dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan jabatannya
dikenal dengan Kedinasan. Dalam menjalankan kedinasannya Pegawai Negeri atau
Penyelenggara Negara sering dihadapkan pada peristiwa gratifikasi sehingga
Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap dapat dibagi menjadi 2 sub kategori yaitu
Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yang terkait kedinasan dan Gratifikasi
yang Tidak Dianggap Suap yang Tidak Terkait Kedinasan
Gratifikasi yang Tidak Dianggap
Suap yang terkait dengan Kegiatan Kedinasan meliputi penerimaan dari:
a.
pihak lain berupa cinderamata dalam kegiatan resmi kedinasan seperti rapat,
seminar, workshop, konferensi, pelatihan atau kegiatan lain sejenis;
b.
pihak lain berupa kompensasi yang diterima terkait kegiatan kedinasan, seperti
honorarium, transportasi, akomodasi dan pembiayaan lainnya sebagaimana diatur
pada Standar Biaya yang berlaku di instansi penerima, sepanjang tidak terdapat
pembiayaan ganda, tidak terdapat Konflik Kepentingan, atau tidak melanggar
ketentuan yang berlaku di instansi penerima
2.1.4
Mengidentifikasi Suatu Pemberian dinilai Suap atau Gratifikasi
1.
Apakah motif dari pemberian hadiah jika
motifnya menurut dugaan Anda adalah ditujurian hadiah yang diberikan kan untuk
mempengaruhi keputusan Anda sebagai oleh pihak pemberi kepada pejabat publik,
maka pemberian tersebut dapat Anda?
Jawaban : Jika motifnya menurut
dugaan Anda adalah ditujurian hadiah yang diberikan kan untuk mempengaruhi
keputusan Anda sebagai oleh pihak pemberi kepada pejabat publik, maka pemberian
tersebut dapat Anda? dikatakan cenderung ke arah gratifikasi dianggap suap
sebaiknya Anda tolak. Seandainya , karena terpaksa oleh keadaan‟ gratifikasi diterima,
sebaiknya segera laporkan ke KPK atau jika ternyata Instansi tempat Anda
bekerja telah memiliki kerjasama dengan KPK dalam bentuk Program Pengendalian
Gratifikasi (PPG) maka Anda dapat menyampaikannya melalui instansi Anda untuk
kemudian dilaporkan ke KPK.
2.
a. Apakah pemberian Jika jawabannya
adalah ya (memiliki posisi setara), tersebut diberikan oleh maka bisa jadi
kemungkinan pemberian tersebut pemberi yang memiliki diberikan atas dasar
pertemanan atau kekerabatan hubungan kekuasaan/ (sosial), meski demikian untuk
berjaga-jaga ada posisi setara dengan baiknya Anda mencoba menjawab pertanyaan
2b. Anda atau tidak?
Jika jawabannya tidak (memiliki
posisi tidak Misalnya pemberian setara) maka Anda perlu mulai meningkatkan
tersebut diberikan oleh kewaspadaan Anda mengenai motif pemberian dan bawahan,
atasan atau menanyakan pertanyaan 2b untuk mendapatkan pihak lain yang tidak
pemahaman lebih lanjut. setara secara kedudukan/posisi baik dalam lingkup
hubungan kerja atau konteks sosial yang terkait kerja.
b. Apakah
terdapat Jika jawabannya ya, maka pemberian tersebut hubungan relasi kuasa
patut Anda duga dan waspadai sebagai pemberian yang bersifat strategis?
Jawaban
yang cenderung ke arah gratifikasi dianggap suap. Artinya terdapat kaitan
berkenaan dengan/ menyangkut akses ke aset-aset dan kontrol atas aset-aset
sumberdaya strategis ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang Anda miliki
akibat posisi Anda saat ini seperti misalnya sebagai panitia pengadaaan barang
dan jasa atau lainnya.
3. Apakah
pemberian tersebut memiliki potensi menimbulkan konflik kepentingan saat ini
maupun masa mendatang?
Jika jawabannya ya, maka sebaiknya
pemberian tersebut Anda tolak dengan cara yang baik dan Jika pembesaat ini maupun di masa rian
tersebut tidak dapat ditolak karena keadaan
Jawaban tertentu maka pemberian
tersebut sebaiknya dilaporkan dan dikonsultasikan ke KPK untuk menghindari
fitnah atau memberikan kepastian jawaban mengenai status pemberian tersebut.
4. Bagaimana
metode pemberian dilakukan? Terbuka atau Rahasia?
Anda patut mewaspadai gratifikasi
yang diberikan secara tidak langsung, apalagi dengan cara bersifat
sembunyi-sembunyi (rahasia). Adanya metode pemberian ini mengindikasikan bahwa
pemberian tersebut cenderung ke arah gratifikasi dianggap suap.
5. Bagaimana
kepantasan/kewajaran nilai dan frekuensi yang berlaku di masyarakat ataupun
frekuensi pemberian yang diterima pemberian yang terlalu sering sehingga
membuat (secara sosial)? Jika pemberian
tersebut di atas nilai
Orang yang berakal sehat menduga
ada sesuatu di balik pemberian tersebut, maka pemberian tersebut sebaiknya Anda
laporkan ke KPK atau sedapat mungkin Anda tolak.
2.1.5
Contoh Kasus
a.
Contoh
Kasus Gratifikasi (KPK, 2014)
Pemberian
Pinjaman Barang Dari Rekanan Kepada Pejabat/Pegawai Negeri Secara
Cuma-Cuma
Anda
adalah seorang pejabat senior di biro perlengkapan yang mempunyai kewenangan
dalam hal pengadaan barang dan jasa sebuah Kementerian. Seorang penyedia barang
dan jasa yang sudah biasa melayani peralatan komputer yang digunakan oleh
Kementerian Anda selama dua tahun lamanya, menawarkan kepada Anda sebuah
komputer secara cuma-cuma untuk digunakan di rumah. Seiring dengan berjalannya
waktu, kontraktor tersebut menjadi teman akrab Anda. Dengan menggunakan
komputer pemberian tersebut, Anda banyak melakukan pekerjaan yang ditugaskan
oleh Kementerian di rumah, terutama pada akhir minggu, dan komputer tersebut
berguna pula untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah Anda. \
Teman
kontraktor Anda itu juga menyatakan bahwa Anda dapat menggunakan komputer
tersebut selama Anda membutuhkannya. Tiga bulan lagi kontrak layanan peralatan
komputer bagi Kementerian perlu diperbaharui dan Anda biasanya menjadi anggota
dari kepanitiaan yang akan memutuskan perusahaan mana yang memenangkan kontrak
tersebut
Pemberian Tiket Perjalanan Oleh Rekanan Kepada Penyelenggara Negara Atau
Pegawai Negeri Atau Keluarganya Untuk Keperluan Dinas/Pribadi Secara Cuma-Cuma
Anda adalah seorang Ketua Kelompok Kerja Pelaksanaan
Kajian Hukum Tindak Pidana Korupsi Nasional di suatu Kementerian. Kelompok kerja
ini bertugas untuk meningkatkan percepatan pemberantasan korupsi. Atasan Anda
(Menteri), adalah orang yang bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan Kajian
Hukum Tindak Pidana Korupsi Nasional yang saat ini sedang dilakukan. Pada suatu
hari konsultan yang bekerjasama dengan kelompok kerja Anda untuk melakukan
proyek kajian tersebut bertanya kepada Anda, bagaimana jika perusahaanya
mengundang Menteri untuk menghadiri pertandingan final sepak bola Piala Dunia
yang akan berlangsung di negara tetangga. Menteri sangat menyukai sepak bola
dan dulu pernah menjabat sebagai Ketua Federasi Sepak Bola. Biaya perjalanan
dan akomodasi akan ditanggung oleh konsultan dan Menteri akan menjadi tamu
kehormatan perusahaan konsultan. Konsultan berpendapat bahwa kegiatan ini akan
memberikan kesempatan yang baik kepada Menteri untuk bertemu dengan
Menteri-Menteri lainnya yang juga akan berada di sana
Pemberian Tiket Perjalanan Oleh
Pihak Ketiga Kepada Penyelenggara Negara Atau Pegawai Negeri Atau Keluarganya
Untuk Keperluan Dinas/Pribadi Secara Cuma-Cuma
Adanya pemekaran suatu provinsi menyebabkan sebuah
kabupaten berubah menjadi sebuah provinsi baru. Provinsi baru ini perlu wilayah
baru yang akan dijadikan sebagai Ibu Kota. Berdasarkan hasil pencarian,
pemerintah daerah dari provinsi baru tersebut menemukan sebuah kawasan yang
cocok sebagai calon ibu kota. Sayangnya, kawasan tersebut merupakan daerah
hutan lindung untuk penyerapan air, bahkan keperluan air untuk negara tetangga
disediakan dari daerah tersebut. Oleh karena itu, Kementerian Kehutanan
menetapkannya sebagai kawasan hutan lindung.
Agar kawasan hutan lindung dapat dialihfungsikan
menjadi ibu kota maka perlu dilakukan proses pengalihan fungsi kawasan yang
dimulai dengan permintaan dari pemerintah daerah kepada Menteri Kehutanan.
Kemudian, Menteri Kehutanan akan menyampaikan permohonan ini kepada Komisi “Z”
di Dewan Perwakilan Rakyat dan atas ijin DPR, Menteri akan membentuk tim
terpadu yang bersifat independen untuk melakukan kajian. Selain itu, kajian
juga akan melibatkan lembaga-lembaga akademis, seperti Lembaga Penelitian
Nasional. Berdasarkan hasil kajian, tim terpadu merekomendasikan bahwa fungsi
hutan lindung tersebut pantas dialihkan karena awalnya hutan tersebut merupakan
perkampungan dan berubah fungsinya menjadi hutan lindung lebih karena
kepentingan tertentu. Selanjutnya, Menteri membawa rekomendasi dari tim terpadu
ini untuk dimintakan persetujuannya kepada Komisi “Z”.
Untuk mempercepat proses persetujuan Komisi ”Z”
terhadap pengalihan fungsi kawasan sehingga ibu kota provinsi dapat segera
dibangun, pemerintah daerah bersepakat dengan salah satu anggota komisi untuk
memberikan bantuan dalam peninjauan ke kawasan, antara lain tiket perjalanan
dan akomodasi selama di kawasan.
Anda
adalah seorang Ketua Kelompok Kerja Pelaksanaan Kajian Hukum Tindak Pidana
Korupsi Nasional di suatu Kementerian. Kelompok kerja ini bertugas untuk
meningkatkan percepatan pemberantasan korupsi. Atasan Anda (Menteri), adalah
orang yang bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan Kajian Hukum Tindak Pidana
Korupsi Nasional yang saat ini sedang dilakukan. Pada suatu hari konsultan yang
bekerjasama dengan kelompok kerja Anda untuk melakukan proyek kajian tersebut
bertanya kepada Anda, bagaimana jika perusahaanya mengundang Menteri untuk menghadiri
pertandingan final sepak bola Piala Dunia yang akan berlangsung di negara
tetangga. Menteri sangat menyukai sepak bola dan dulu pernah menjabat sebagai
Ketua Federasi Sepak Bola. Biaya perjalanan dan akomodasi akan ditanggung oleh
konsultan dan Menteri akan menjadi tamu kehormatan perusahaan konsultan.
Konsultan berpendapat bahwa kegiatan ini akan memberikan kesempatan yang baik
kepada Menteri untuk bertemu dengan Menteri-Menteri lainnya yang juga akan
berada di sana.
b.
Contoh Kasus Suap Menyuap (Chairunnisa, 2018)
Hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi menjatuhkan vonis empat tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider
dua bulan kurungan terhadap mantan anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Aditya Anugrah Moha. Hakim menyatakan Politikus Partai Golkar itu
terbukti memberikan suap hakim Pengadilan
Tinggi Manado Sudiwardono sebesar Sing$ 110 ribu.
"Menyatakan Aditya secara
terbukti melakukan perbuatan tindak pidana korupsi," kata Ketua Majelis Hakim,
Masud saat membacakan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Rabu, 6
Juni 2018.
Hakim menilai Aditya terbukti
menyuap hakim agar ibunya, Marlina Moha yang juga merupakan Bupati Bolaang
Mongondow, Sulawesi Utara, tidak ditahan saat melakukan perkara dalam tingkat
banding. Selain menyuap sebesar Sing$ 110 ribu, Aditya menjanjikan Sing$ 10
ribu kepada hakim namun tidak sempat diberikan.
Adapun Marlina divonis lima tahun penjara dan denda Rp 200
juta subsider dua bulan kurungan. Ia terjerat kasus korupsi Tunjangan
Penghasilan Aparatur Pemerintah Desa (TPAPD).
Putusan hakim terhadap Aditya lebih rendah dari tuntutan
jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebelumnya, Jaksa menuntut Aditya
dengan hukuman enam tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan
kurungan.
Hakim mengatakan, keadaan memberatkan putusan adalah
Aditya tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi. Selain itu, Aditya sebagai anggota DPR tidak memberikan contoh dan
teladan yang baik kepada masyarakat.
Sedangkan yang meringankan adalah, Aditya berlaku sopan
dalam persidangan dan masih punya tanggungan keluarga. Selain itu, Aditya
mengatakan dirinya dan menyesali perbuatannya.
Di akhir persidangan, Aditya menyatakan menerima apapun
putusan hakim berdasarkan musyawarah dengan tim penasihat hukum dan keluarga.
Aditya mengatakan melakukan suap demi
membebaskan ibunya dari jeratan hukum.
Aditya Moha berkukuh ibunya tidak bersalah dalam kasus
korupsi TPAPD. "Maka apapun yang menjadi keputusan majelis hakim, saya
menerima sebagai seorang anak. Demi memperjuangkan harkat dan martabar ibu
saya," kata dia di akhir persidangan. Sedangkan Jaksa KPK menyatakan
meminta waktu kepada hakim untuk mempertimbangkan putusan. "Kami
menyatakan pikir-pikir yang mulia," kata Jaksa KPK.
DAFTAR
PUSTAKA
Chairunnisa,
Ninis. 2018. Terbukti Menyuap
Hakim, Politikus Golkar Divonis 4 Tahun Penjara. Jakarta. [Online]
https://nasional.tempo.co/read/1096027/terbukti-menyuap-hakim-politikus-golkar-divonis-4-tahun-penjara/full&view=ok
diakses pada tanggal 4 November 2020
Komisi
Pemberantasan Korupsi. 2014. Buku Saku Memahami Gratifikasi. Jakarta : Komisi
Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 11 tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi