Metrum Kinanthi dalam Serat Rama 07.248 M
Mardhayu
Wulan Sari
Kata
kunci: macapat, kinanthi, Serat Rama
Kesusastraan Jawa juga mengenal bentuk prosa dan
puisi seperti kesusastraan lainnya. Puisi Jawa dianggap lebih populer daripada
prosa Jawa serta menduduki tempat terpenting (Saputra, 2001: 2). Puisi Jawa didefinisikan
sebagai puisi yang ditulis dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa sendiri, masih
menurut Saputra, dibagi menjadi tiga, yakni bahasa Jawa Kuna, Jawa Tengahan,
dan bahasa Jawa Baru. Berdasarkan pengelompokan bahasa tersebut, bentuk pusi
yang hadir dikelompokkan menjadi:
1.
Puisi Jawa Kuna, yaitu kakawin.
2.
Puisi Jawa Tengahan, yaitu kidung,
dan
3.
Puisi Jawa Baru dibedakan mejadi :
a. Puisi yang bertembang meliputi, tembang macapat, tembang tengahan,
dan
tembang gedhe.
b. Puisi yang tidak bertembang meliputi guritan, parikan, wangslan, dan singir.
Perbedaan
antara puisi bertembang dengan puisi tidak bertembang terletak pada cara
pembacaannya. Puisi bertembang dibaca berdasarkan susunan titilaras ‘notasi/nada’.
Tembang-tembang yang termasuk kelompok pusi bertembang adalah macapat, tembang tengahan, dan tembag gedhe.
1.
Tembang macapat asli meliputi dhandhanggula, asmaradana, sinom, durma,
pangkur,
mijil, kinanthi, maskumambang, dan pucung.
2.
Tembang tengahan meliputi jurudemung,
wirangrong, balabak, gambuh, dan
megatruh.
3.
Tembang gedhe, yaitu girisa.
Teks
KR, bila dilihat dari nama pupuh
yang digunakan, termasuk pada kelompok macapat
asli. Oleh karena itu, penjelasan selanjutnya ditekankan pada jenis-jenis
tembang yang termasuk kelompok macapat
asli.
Macapat diciptakan oleh para wali sebagai sarana menyebarkan
Islam di Jawa setelah berakhirnya kekuasaan Majapahit. Macapat memunyai kedudukan penting dalam sejarah
kesusatraan Jawa. Keunggulan tersebut disebabkan oleh: 1) Usia yang panjang
karena masih digunakan sampai sekarang; 2) Banyaknya tulisan-tulisan yang
dibingkai metrum macapat; 3)
Setelah periode kakawin Jawa
Kuna, macapat dianggap
sebagai satu-satunya bentuk susastra; 4) Hampir semua orang Jawa mengenal macapat. Bahkan tradisi sastra di
Madura, Sunda, Bali, dan Lombok juga mengenal macapat (Saputra, 2001: 104).
Masing-masing nama tembang macapat mempunyai pola
persajakan atau metrum yang berbeda. Macapat mempunyai pola persajakan yang
ketat karena berkaitan dengan cara melagukannya. Aturan dalam pola persajakan
macapat meliputi guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Guru gatra mengacu
pada jumlah baris dalam tiap bait, guru
wilangan mengacu pada jumlah suku kata dalam tiap baris, dan guru lagu mengacu pada bunyi vokal
terakhir dalam masing-masing baris.
Serat Rama 07.248 M
Serat
Rama merupakan salah satu judul naskah yang tersimpan di Museum Mpu
Tantular Sidoarjo. Naskah Serat Rama
hanya memuat satu buah teks, yaitu Serat
Rama. Teks Serat Rama ditulis
menggunakan aksara Jawa dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan adalah
bahasa Jawa Baru disertai beberapa kosakata yang berasal dari bahasa Jawa Kuno.
Serat Rama ditulis dalam media naskah
yang berbahan dluwang kulit kayu. Teks ini berbentuk macapat. Metrum yang
membingkai teks Serat Rama meliputi
dhangdhanggula, pangkor, srinata, kasmaran, danagung, sekaring tyas, dan
kinanthi.
Metrum dhangdhanggula sama dengan dhandhanggula.
Penambahan bunyi /ng/ dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain dialek
atau kesalahan dengar yang terjadi saat proses penyalinan. Pangkor sama dengan
pangkur. Menurut Arps (1992:12), perubahan vokal /u/ dan /o/ serta /i/ dan /e/
lazim terjadi pada orang-orang Jawa yang tidak terbiasa menulis sehingga
menganggap vokal-vokal tersebut adalah sama. Selain nama pangkor, dalam Serat Rama juga ditemukan nama metrum
kawingkeng. Kawingkeng merupakan nama lain dari metrum pangkur. Baik pangkur
maupun kawingkeng mempunyai makna bagian belakang. Srinata merupakan nama lain tembang sinom.
Hardjowirogo (1980:47—48) menulis beberapa nama lain untuk tembang sinom, yaitu
anom, ron kamal, taruna, srinata, pangrawit, dan logondhang. Metrum berikutnya,
kidanan, kasmaran, danagung, dan sekaring tyas merupakan nama lain asmaradana.
Dalam Serat Rama, metrum kinanthi
dituliskan menjadi kinanthih.
Metrum
kinanthi meliputi guru gatra yang
terdiri atas enam baris, guru wilangan berjumlah
delapan pada masing-masing baris, dan guru
lagu terdiri atas u, i, a, i, a, dan i sehingga dapat dituliskan menjadi
8u, 8i, 8a, 8i, 8a, dan 8i. Metrum Kinanthi mempunyai tema kemesraan sehingga
banyak digunakan untuk menulis tembang tentang percintaan, nasihat, dan
keriangan hati. Kinanthi digunakan sebanyak satu kali pada Serat Rama. Dalam satu pupuh (bab) kinanthi terdapat delapan belas
bait. Metrum kinanthi tidak diterapkan pada Serat
Rama. Mengacu pada hasil
transliterasi, nampak bahwa jumlah baris dalam tiap bait terdiri atas lima,
empat, tiga, dua, bahkan satu baris. Kekurangtepatan dalam penulisan jumlah
baris berdampak pada jumlah suku kata dalam masing-masing baris sehingga perlu diadakan
perbaikan jumlah baris dan suku kata pada masing-masing bait metrum kinanthi.
Selain itu, bunyi vokal akhir pada masing-masing baris juga tidak seluruhnya
tepat sehingga juga perlu diperbaiki. Perbaikan jumlah baris, suku kata, dan
bunyi vokal terakhir pada masing-masing baris disajikan dalam bentuk tabel
perbandingan. Penyajian seperti ini diharapkan dapat memudahkan pembaca untuk
mengidentifikasi setiap perbaikan yang telah dilakukan. Selain menyajikan hasil
perbaikan, tabel perbandingan ini juga menyajikan terjemahan dalam bahasa
Indonesia dari masing-masing bait. Terjemahan yang dilakukan adalah terjemahan
kata per kata dan disajikan per baris seperti bentuk teks yang telah mengalami
perbaikan.
No. |
Transliterasi
Metrum Kinanthi dalam Serat Rama
07.248 M |
Perbaikan
Bacaan Metrum Kinanthi dalam Serat Rama 07.248 M |
Terjemahan
Metrum Kinanthi dalam Serat Rama 07.248
M |
1.
|
tan leŋŋĕnn ramma
winuwus mraja daśamuḳa nĕŋgi manjiŋi …ṭa siniba, iŋ paśowan para
mantri rahwanna kenn aŋuṇdaŋa, mantri maṇḍa yaksa
sakti. |
Tan lingen Rama
winuwus, Raja Dasamuka nenggi, Manjing ing kutha
sineba, Ing pasowan para
mantri, Rahwana ken
angundanga, Mantri Mandha yaksa
sakti. |
Tersebutlah,
tidak dikatakan oleh Rama, Raja
Dasamuka menunggu, Masuk
ke dalam kota, dilayani, Di
tempat berkunjungnya para Menteri, Rahwana
minta untuk mengundang, Menteri
Mandha, raksasa sakti. |
2.
|
aran diyu maya tuḥu, wiss wiŋ sulap daḥat
pamre wus manḍĕk rahwanna nabda, i diyu luŋaḥa haglis
sadayyan tah lamunn ora katambin laksmanna mati. |
Aran Diyu Maya tuhu, Wis wong sulap dahat
pamrih, Wus mandheg Rahwana
nabda, I Diyu lungaha aglis, Sadayan ta lamun ora,
Katamban Laksmana
mati. |
Sungguh-sungguh
bernama Diyu Maya, Orang
selalu silau akan keuntungan, Rahwana
telah berhenti bersabda, Segeralah
Diyu pergi, Jika
seluruhnya tidak, Diobati,
Laksmana mati. |
3.
|
arupaḥah sira iku, lwir rsi atapp iŋ
marggi acaŋcaŋa hiŋ yujanna, ŋuŋŋsiya denn ilĕss
waŋ liŋ śampunni winĕkkas wĕkas kaŋ diyu maya tur bakti. |
Arupaha sira iku, Lwir resi ataping
margi, Acangcanga ing
yujana, Ngungsiya den iles
wang ling, Sampun i
winekas-wekas, Kang Diyu mayatur
bakti. |
Berubah
wujudlah dia, Seperti
resi yang berbaris di jalan, Akan
mengikat pada tongkat pengukur jalan, Orang
berkata pergilah sebab terinjak, Setelah
berulang kali diberi pesan, Oleh
Diyu Maya yang menghaturkan bakti. |
4.
|
maŋkana śampun
tĕkkeŋŋu pamara ppandann iŋ marggi iŋ talaga malah mala, iyya jro tuyyannya
puti kaŋ buta ndan salen rupa, lwir rĕsṣi atapp iŋ
bakti. |
Mangkana sampun
tekengu, Pamara padha ning
margi, Ing talaga malah
mala, Iya jro tuyanya
putih, Kang buta ndan salin
rupa, Lwir resi ataping
bakti. |
Datang
untuk memelihara hingga selesai, Pada
berdatangan ke jalan, Sesampainya
di telaga membersihkan diri, Ke
dalam air yang berwarna putih, Kemudian
raksasa berubah wujud, Menjadi
resi yang memberi hormat. |
5.
|
irika hanommann rawu,
amenta tuyyeŋ śaŋ
rĕśe kaŋ jinnaluk nnaŋucap iki tatar ulle kaki gaṭwih amoŋŋ aŋiras ŋinumm iŋ
talaga wari. |
Irika Hanoman rawuh, Aminta tuyeng sang
resi, Ikang jinaluk
angucap, Iki tatar uli kaki, Gatha weh amung
angiras, Nginum ing talaga
wari. |
Kemudian
Hanoman datang, Meminta
air pada sang resi, Yang
diminta berkata, Tidak
boleh pada laki-laki ini, Lalu
memberi wadah air, Minum
air di telaga. |
6.
|
yyan siryarśa ŋinom
bañu, lah mriŋŋa talaga
kaki nomman wus maraŋ talaga, lagyah añawokiŋ wari
taṇdra naṭa baya pĕṭak agĕŋi kagiri giri. |
Yan siryarsa nginum
banyu, Lah mringa talaga
kaki, Noman wus mareng
talaga, Lagya anyawuking
wari, Tandra nata baya
pethak, Ageng ika giri-giri. |
Wajahnya
condong ketika minum air, Lah,
laki-laki di telaga, Hanoman
telah tiba ke telaga, Baru
saja menciduk air dengan tangan, Kemudian
raja buaya putih, Yang
besar itu tergesa-gesa. |
7.
|
anarap saŋ nomman ṣampun
kula maŋke sapu aŋin yann iŋ jro gĕrba buwana, marutsuta tan wreŋ
gati ndan ŋrok gĕrbajol kaŋ bĕḍḍa, murkaŋ waŋke tatur
kaksi. |
Anarap sang Noman
sampun, Kula mangke sapu
angin, Yan ing jro gerba
buwana, Marutsuta tan wreng
gati, Ndan ngruk[1][MWS5]
garbajul[2]
kang bedhah, Mor kang wangke tatu
kaksi. |
Sang
Hanoman telah berbaris berderet, Aku
Sapu angin, Jika
di dalam perut bumi, Marutsuta
tidak benar-benar takut, Kemudian
mengorek perut buaya yang sobek, Dijadikan
satu dengan bangkai yang nampak luka-luka. |
8.
|
pjahhi śaŋ bajul
nĕŋgu, dadya istri ayu
lĕwire… nomman ṣapa sira, sahornnya ŋwaŋ
widadyari kĕnniŋ satya, iŋ hyaŋ ŋindra, mila dadya bajul
puti. |
Pejahe sang bajul
nenggu, Dadya istri ayu
lwire, … Noman sapa sira, Saurnya ngwang
widadyari, Keneng satya ing
Hyang Indra, Mila dadya bajul
putih. |
Menunggu
kematian sang buaya, Seperti
menjadi wanita cantik, Hanoman
menyumpahinya, Seorang
bidadari menjawab, Ketulusan
Dewa Indra sampai padanya, Sehingga
jadilah buaya putih. |
9.
|
yyeŋsun ṣakiŋ
swarggiŋ daŋu, aŋruśak swargga
dewadi yyeki margganni dinakan dadya buwayanniŋ reki jro talaga malah mala, milweŋŋ waŋŋ ajri kapati. |
Yengsun saking swargi
ng dangu, Angrusak swarga
dewadi, Yeki margani dinakan,
Dadya buwaya ning
reki, Jro talaga mala-mala,
Milweng ngwang ajrih
kapati. |
Ya,
aku lama berada di surga, Merusak
surga dewata yang indah, Ya,
inilah sebabnya siang hari, Dia
menjadi buaya, Bahkan
dalam telaga yang kotor, Orang
yang ikut takut terbunuh. |
10. |
pann age ruwatĕnn
iŋsun sira tkeŋ talageki tuḥwa yan kaŋ tan won pjah kabe paḍa den patinni
wetniŋ age aruwatta, pan lawas kamalan
mammi. |
Pan age ruwaten
ingsun, Sira tekeng talageki,
Tuhwa yan kang tan
won pejah, Kabeh padha den
patina, Wit ning age
angruwata, Pan lawas kamalan
mami. |
Segera
bebaskan aku, Dia
datang dari telaga ini, Jika
benar-benar tidak mati, Maka
bunuhlah semua, Mulailah
segera, membebaskan, Amalan
untuk selamanya. |
11. |
adaŋuh maŋke anĕŋgu, matyanni kamalan mami
kaŋ aŋrowattiŋ patala, akaryya waluya mammi
kaṭa maŋke utaŋŋiŋ ŋwaŋ, si hanommann anak
mami. |
Adangu mangke
anenggu, Matyani kamalan mami,
Kang angruwat ing
patala, Akarya waluya mami, Kathah mangke utang
ing ngwang, Si Hanoman anak mami. |
Nantinya
lama menunggu, Menyudahi
amalanku, Yang
membebaskan di perut bumi, Aku
kembali pulih dan bekerja, Banyak
berhutang pada orang, Si
Hanoman anakku. |
12. |
lah patinnana karuḥun
kaŋ diyu awarna rĕśe maŋke iŋoŋ aŋantiya, kaŋ kenin tandra
ŋastuti sakĕḍḍap tandra pan dandan maligi tuṇḍa saptaddi. |
Sang Pawanasuta
matur, Sampun pinahosan
malih, Pan dasi dados
lantaran, Sadaya reh saking
Widi, Balika yan awi losa, Tan dangumbata ing
mangke. |
Sang
Pawanasuta berkata, Telah
dihias kembali, Karena
pelayanlah yang menyebabkan, Semua
keadaan berasal dari Tuhan, Silakan
kembali jika akan pergi, Tidak
butuh waktu lama untuk menembok. |
13. |
śaŋ widadyari aluŋgu,
aning maliŋgih tuṇḍas
sri, saŋ anomman taṇdra
keśa, maraŋ śaŋŋ amiṇḍa rĕsṣi
tka luŋgwiŋ bali aṇḍap campakah basa jiwarṇni. |
Sang widadyari
amuwus, Apwa[3]
sira walang ati, Mangsing[4]
ngwang tan wreng sikara, Mapan ka Alengka
wruhi, Sare sang Rama
Laksmana, Kang aprang tan samar
mami. |
Sang
bidadari berkata, Mempesilakan,
dia khawatir, Mustahil
menganiaya orang yang tidak takut, Diketahui bersiap ke Alengka, Tidurlah
sang Rama Laksmana, Aku
tidak merahasiakan peperangan. |
14. |
lah patinnana karuḥun
kaŋ diyu awarna rĕśe maŋke iŋoŋ aŋantiya, kaŋ kenin tandra
ŋastuti sakĕḍḍap tandra pan dandan maligi tuṇḍa saptaddi. |
Lah patinana karuhun,
Kang Diyu awarna
resi, Mangke ingong
angantiya, Kang kenen tandra
ngastuti, Sakedhap tandra pan
dandan, Malige tundha
saptadi. |
Lah
bunuhlah dulu, Resi
yang menyerupai Diyu, Saya
akan menunggu nanti, Yang
diperintah segera menyembah, Sekejap
kemudian menghias, Mahligai
tujuh tingkat yang indah. |
15. |
śaŋ widadyari aluŋgu,
aning maliŋgih tuṇḍas
sri, saŋ anomman taṇdra
keśa, maraŋ śaŋŋ amiṇḍa rĕsṣi
tka luŋgwiŋ bali aṇḍap campakah basa jiwarṇni. |
Sang widadyari
alungguh, Aneng malinge tunda
sri, Sang Hanoman tandra
kesah, Marang sang amindha
resi, Teka lunggwing bali
andhap, Campaka basaji[5]
warni. |
Sang
bidadari duduk, Di
singgasana bertingkat milik raja, Sang
Hanoman segera pergi, Menemui
Resi Amindha, Datang,
duduk di bawah kemudian kembali, Menyajikan
beragam bahasa dan cempaka. |
16. |
śaŋ diyu rĕssi
kadulu, saŋ anomman deṇ
caranni leŋŋ ikaki mariniya, aliŋgiya sanḍiŋ
mammi, sapwaŋin mara arupa
kadya woŋŋ arĕp ambakti. |
Sang Diyu resi
kadulu, Sang Hanoman den
carani[6],
Ling ikaki mariniya, Alinggiha sandhing
mami, Sapwangin mara arupa,
Kadya wong arep
ambakti. |
Sang
resi terlihat seperti Diyu, Sebab
sang Hanoman mengintai, Laki-laki
tua berkata akan datang, Duduklah
di sampingku, Sapwangin
datang dalam wujud, Seperti
orang memberi hormat. |
17. |
tandra śaŋ rsi den
pĕluk kaŋ cinĕkkĕllan pan dadi danawa ruśa sakala nomman pann aguŋ awake kaŋ
buta binantiŋ śigra wus rĕmmĕk rata lan bumi. |
Tandra sang resi den
peluk, Kang cinekelan pan
dadi, Danawa rusa sakala, Noman pan agung
awake, Kang buta binanting
sigra, Wus remek rata lan
bumi. |
Segera
sang resi memeluk, Yang
dipegangnya menjadi, Rusa
raksasa semuanya, Hanoman
yang besar badannya, Raksasa
segera dibantingnya, Kemudian
hancur rata dengan bumi. |
18. |
sapjahe buta wa…pul nomman maraŋ widadyari amintah
tinaṇḍaŋ mĕrta, reh śaŋ lĕksmana akanin apan pranna curnan nira, yan sisippah tmah mati. |
Sapjahe buta wa…pul, Noman marang
widadyari, Aminta tinandhang
merta, Reh sang Laksmana
akanin, Apan prana curna
nira, Yan sisipa temah
mati. |
Setelah
kematian raksasa…, Hanoman
mendatangi bidadari, Meminta
mengirim kabar, Sang
laksmana memerintah, Sebab
kehidupannya rusak, Jika
salah akan mati. |
Pada bait satu, terdapat tanda titik
yang digunakan untuk menuliskan teks yang tidak terbaca karena naskah rusak. Pada
perbaikan teks bait satu, suku kata yang hilang dapat diidentifikasi dengan
melihat konteks kalimatnya, yaitu kata kutha
‘kota, tempat yang dikelilingi tembok’. Perbaikan pada bunyi vokal terakhir
pada suatu baris dapat dijumpai pada bait dua. Kata pamre diubah menjadi pamrih
untuk mengikuti aturan guru lagu pada
baris kedua metrum kinanthi, yaitu /i/.
Perbaikan metrum kinanthi pada Serat Rama meliputi jumlah baris, jumlah
suku kata tiap baris, dan bunyi vokal terakhir pada masing-masing baris. Dalam
menyajikan bentuk teks yang sesuai dengan metrum kinanthi, dilakukan
penghitungan suku kata untuk masing-masing baris. Perbaikan yang paling sedikit
dilakukan adalah perbaikan pada bunyi vokal terakhir pada suatu baris.
Ditemukan hanya satu bunyi vokal terakhir yang perlu diperbaiki, yaitu kata pamre menjadi pamrih.
Arps, Bernard.
1992. Tembang in Two Traditions:
Performance and Interpretation of Javanese
Literature. London: School
of Oriental and African Studies (University of London).
Hardjowirogo, R.
1980. Pathokaning Nyekaraken.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Prawiroatmojo,
S. 1981. Bausastra Jawa-Indonesia.
Jakarta: Gunung Agung.
Saputra, Karsono
H. 2001a. Puisi Jawa. Jakarta:
Wedatama Widya Sarana.
________________.
2001b. Sekar Macapat. Jakarta:
Wedatama Widya Sarana.
Sari, Mardhayu
Wulan. 2015. Repertoire dalam Serat
Rama: Suntingan Teks, Terjemahan, dan
Kajian Respon Estetik Wolfgang Iser.
Tesis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
[1] Kata ngruk berasal dari ngeruk.
[2] Kata garbajul berasal dari garbha dan bajul
[3] Kata
apwa seharusnya apuwa ‘mempersilakan’. Hilangnya satu suku kata karena mengikuti
aturan metrum.
[4] Kata
mangsing berasal dari mangsi + ing
[5] Basaji berasal dari
kata basa dan saji.
[6] Akhiran
-i digunakan untuk mengikuti aturan metrum.
[MWS1]Judul merupakan gambaran dari keseluruhan artikel. Judul ditulis menggunakan jenis kata benda. Judul memuat informasi tentang objek, masalah yang mengarah pada teori yang digunakan dan metode. Pada contoh, objeknya adalah Serat Rama. Permasalahan yang diangkat adalah struktur metrum kinanthi sehingga teori yang digunakan adalah teori struktur tembang macapat untuk metrum kinanthi.
[MWS2]Abstrak berisi ringkasan tulisan yang dibuat. Hal-hal yang perlu dituliskan dalam abstrak adalah objek tulisan/penelitian, rumusan masalah, tujuan penulisan/penelitian, metode, landasan teori, dan kesimpulan.
Penulisan abstrak harus disertai kata kunci. Yang dimaksud dengan kata kunci adalah kata yang penggunaannya sering/ kemunculannya sering dalam sebuaah tulisan. Kata kunci yang dituliskan dapat berjumlah tiga, lima, atau tujuh.
Pada contoh artikel ini, abstrak ditulis dalam 140 kata. Namun, standar penulisan abstrak yang sering dijumpai berjumlah 200—300 kata.
Pada dasarnya penulisan artikel ilmiah dan makalah tidak berbeda. Perbedaan hanya terdapat pada sistematika penyajiannya. Jika membaca sebuah artikel, Anda dapat dengan mudah mengidentifikasi bagian-bagian dari artikel tersebut, manakah yang termasuk pendahuluan, isi, dan penutup.
Pada bab Pengantar, isinya meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan, metode, dan teori yang digunakan. Paragraf ditulis dari hal yang bersifat umum ke khusus. Yang dimaksud hal khusus adalah hal-hal yang berhubungan dengan objek tulisan/penelitian.