BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Melitus Tipe 2
a. Definisi
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (American Diabetes Association, 2010). DM tipe 2 atau sering juga disebut dengan Non Insuline Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) merupakan penyakit diabetes yang disebabkan oleh terjadinya resistensi tubuh terhadap efek insulin yang diproduksi oleh sel β pancreas (Radio, 2011).
Penderita DM tipe 2 masih dapat menghasilkan insulin akan tetapi, insulin yang dihasilkan tidak cukup atau tidak bekerja sebagaimana mestinya di dalam tubuh sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel-sel tubuh. DM tipe 2 umumnya diderita pada orang yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas (Smeltzer & Bare, 2002). Diabetes mellitus tipe 2 dikarakteristikkan oleh adanya hiperglikemia, resistensi insulin, dan adanya pelepasan glukosa ke hati yang berlebihan (Ilyas, 2009).
Pada umumnya penderita diabetes melitus merupakan lansia yang berusia diatas 50 tahun, memiliki berat badan lebih/ IMT lebih dari normal, tekanan darah tinggi/ hipertensi, memiliki riwayat penyakit diabetes dalam keluarga, dan kolesterol HDL < 35 mg/dL atau kadar trigliserida < 50 mg/dl. Selain itu penderita Diabetes melitus tipe 2 memiliki karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (Perkeni, 2015).
Diabetes tipe 2 lebih sering terjadi pada orang yang mengalami obesitas atau kegemukan akibat gaya hidup yang dijalaninya, dimana penyebabnya adalah kurangnya sekresi insulin pankreas dan adanya resistensi tubuh terhadap insulin (Sigit N, 2012). Berbeda dengan diabetes melitus tipe 1 yang terjadi karena masalah fungsi organ pankreas yang tidak dapat
menghasilkan insulin, sedangkan diabetes tipe 2 kelenjar pankreas tetap menghasilkan insulin, namun tubuh tidak dapat menafaatkannya dengan baik. Apabila keperluan menggunakan insulin meningkat, kelenjar pankreas tidak lagi mampu mengeluarkan insulin pada kadar mencukupi (Sigit N, 2012).
b. Etiologi
Penyebab DM tipe 2 diantaranya oleh faktor genetik, resistensi insulin, dan faktor lingkungan. Selain itu terdapat faktor- faktor pencetus diabetes diantaranya obesitas, kurang gerak/olahraga, makanan berlebihan dan penyakit hormonal yang kerjanya berlawanan dengan insulin (Suyono & Subekti, 2009).
c. Patofisiologi stress dengan kejadian diabetes melitus
Peningkatan kadar glukosa darah pada orang stres terjadi karena pengaktifan sistem saraf simpatis dan menyebabkan berbagai perubahan yang terjadi dalam tubuh, salah satunya adalah terjadinya proses glukoneogenesis yaitu pemecahan glukogen menjadi glukosa ke dalam darah, sehingga glukosa darah meningkat. Pada orang yang normal hal itu tidak menjadi masalah, namun bagi orang yang sudah menderita penyakit Diabetes Melitus akan menimbulkan dampak yang kurang baik, yang dapat meningkatkan dan memperbutuk kadar gula darah, sehingga dapat menganggu kesehatan lebih komplek (Sri Mulia Sari dan Hersianda, 2019).
Kejadian stress ini dapat memicu kejadian over emotional eating yang menyebabkan asupan makan tidak terkontrol dengan baik (Naedak, 2013). Asupan makan yang tidak terkontrol bagi pasien diabetes melitus sangat berbahaya, karena dapat mengancam kesehatannya, oleh karena itu pentingnya mengontrol glukosa darah pada pasien diabetes melitus tipe 2 dalam mempertahankan kondisi tubuh yang sehat. Semakin tinggi asupan makan maka kadar glukosa dalam tubuh pasien DM tipe 2
akan tinggi, sebaliknya jika asupan makan menurun maka kadar glukosa dalam darah akan menurun.
Asupan makanan yang harus diperhatikan oleh pasien diabetes melitus tipe 2 adalah lemak. Lemak merupakan sumber energi terbesar yang dapat menyebabkan obesitas. Pada orang yang obesitas sel-sel lemak tersebut akan menghasilkan beberapa zat yang digolongkan sebagai adipositokin. Zat tersebut menyebabkan resistensi terhadap insulin. Akibat resistensi insulin, gula darah sulit masuk ke dalam sel sehingga gula di dalam darah tinggi atau hiperglikemi (Kariadi, 2009).
Ada beberapa mekanisme stres mempengaruhi perilaku makan. Mekanismenya melibatkan hormon noradrenalin dan CRH yang dapat menurunkan nafsu makan dan juga ada kortisol yang dapat meningkatkan nafsu makan. Stres yang terjadi setiap hari dalam jangka waktu yang panjang, akan melibatkan sistem pituitary-adrenal-kortikol, dimana hipotalamus akan mengsekresi CRH yang menurunkan nafsu makan. Setelah beberapa jam atau hari, kortisol akan menaikkan nafsu makan serta kadar glukokortikoid akan meningkat. Peningkatan tersebut akan menyebabkan tingginya aktivitas lipoprotein lipase sehingga mobilisasi penyimpanan energi pada jaringan visceral akan meningkat (Sominsky,2014).
d. Faktor resiko
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah dan terjadinya DM tipe 2, diantaranya adalah usia, jenis kelamin dan penyakit penyerta (Duanning, 2003).
1. Usia
Golberg dan Coon dalam Rochmah (2006)
menyatakan bahwa semakin meningkat usia maka prevalensi diabetes dan gangguan toleransi glukosa semakin tinggi. DM tipe 2 biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin sering terjadi setelah usia 40 tahun
serta akan terus meningkat pada usia lanjut (Medicastore, 2007: Rochmah 2006).
Proses menua yang berlangsung setelah umur 30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkatan sel berlanjut ke tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ yang mempengaruhi fungsi homeostatis. Komponen tubuh yang mengalami perubahan adalah sel β pankreas penghasil insulin, sel-sel jaringan target yang menghasilkan glukosa, sistem saraf pusat dan hormon lain yang mempengaruhi kadar glukosa darah akan naik 1-2 mg/dl/tahun pada saat puasa dan naik 5,6-13 mg/dl/tahun pada 2 jam setelah makan (Rochmah, 2006).
2. Jenis kelamin
Beberapa teori menyatakan perempuan lebih banyak mengalami DM tipe 2 hal ini diakibatkan karena secara fisik memiliki peluang peningkatan index masa tubuh yang lebih besar. Sindrom siklus bulanan (premenstrual syndrome), pasca menopause membuat distribusi lemak di tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal tersebut sehingga perempuan lebih beresiko menderita DM tipe 2 (Irawan,2010)
3. Penyakit penyerta
Separuh dari kesembuhan pasien DM yang berusia 50 tahun ke atas dirawat di rumah sakit setiap tahunnya dan komplikasi DM menyebabkan peningkatan angka rawat inap bagi pasien DM tipe 2 (Smeltzer & Bare, 2002). Penyandang DM mempunyai risiko untuk terjadinya penyakit jantung koroner dan penyakit pembuluh darah otak 2 kali lebih besar, 5 kali lebih mudah menderita ulkus/gagren, 7 kali lebih mudah mengidap gagal ginjal terminal dan 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan akibat kerusakan retina dari pada pasien non DM (Waspadji, 2009). Kalau sudah terjadi penyulit, usaha
untuk menyembuhkan melalui pengontrolan kadar glukosa darah dan pengobatan penyakit tersebut kearah normal sangat sulit, kerusakan yang sudah terjadi umumnya akan menetap (Waspadji, 2009).
4. Lama menderita DM
DM merupakan penyakit metabolik yang tidak dapat disembuhkan, oleh karena itu kontrol terhadap kadar gula darah sangat diperlukan untuk mencegah komplikasi baik komplikasi akut maupun kronis. Lamanya pasien menderita DM dikaitkan dengan komplikasi akut maupun kronis. Hal ini didasarkan pada hipotesis metabolik, yaitu terjadinya komplikasi kronik DM adalah sebagai akibat kelainan metabolik yang ditemui pada pasien DM (Waspadji, 2009). Semakin lama pasien menderita DM dengan kondisi hiperglikemia, maka semakin tinggi kemungkinan untuk terjadinya komplikasi kronik. Kelainan vaskuler sebagai manifestasi patologis DM dari pada sebagai penyulit karena erat hubungannya dengan kadar glukosa darah yang abnormal, sedangkan untuk mudahnya terjadinya infeksi seperti tuberkolosis atau gangrene diabetic lebih sebagai komplikasi (Waspadji, 2009).
e. Diagnosis
Pedoman dalam mendiagnosa penyakit Diabetes Melitus (DM) yaitu (MenKes, 2018):
1. Pemeriksaan glukosa darah puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam. Dilakukan pengambilan sampel darah untuk Tes gula darah puasa setelah pasien melakukan puasa minimal 8 jam.
2. Pemeriksaan glukosa darah ≥200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTOG) dengan beban glukosa 75
gram. Pada tes TTOG pasien melakukan puasa terlebih dahulu minimal 8 jam, setelah itu diminta makan dan minum seperti biasanya. Selang waktu 2 jam setelah itu dilakukan pengecekan kadar gula darah.
3. Pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan- keluhan (poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan). Tes gula darah sewaktu dilakukan kapan saja tanpa mempertimbangkan puasa dan waktu terakhir pasien makan. Tes ini dilakukan apabila terjadi gejala-gejala DM secara umum, diantaranya poliurea (sering kencing), polifagia (cepat lapar), polidipsi (sering haus), berat badan turun dan infeksi yang sukar sembuh.
4. Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP). Tes hemoglobin terglikasi (HbA1c) adalah pengukuran persentase gula darah yang terikat dengan hemoglobin. Hemoglobin adalah protein yang ada dalam sel darah merah. Semakin tinggi hemoglogin A1c, semakin tinggi pula tingkat gula darah.
Tabel 2.1 Diagnosis Untuk DM Cek Kadar Glukosa Darah di Laboratorium
|
HbA1c (%) |
Glukosa darah puasa
(mg/dL) |
Glukosa Plasma 2 Jam setelah TTGO
(mg/ dL) |
Diabetes |
≥6,5 |
≥ 126 |
≥ 200 |
Prediabetes |
5,7 – 6,4 |
100 – 125 |
140 – 199 |
Normal |
< 5,7 |
< 100 |
<140 |
Sumber : Perkeni, 2015.
f. Tanda dan gejala
Beberapa tanda-tanda dan gejala-gejala klinis Diabetes Melitus (DM) antara lain (Bustan, 2007):
1. Poliuria (sering kencing) Adalah kondisi dimana terjadi kelainan pada produksi urin di dalam tubuh yang abnormal
`yang menyebabkan sering berkemih.Biasanya berkemih normalnya 4-8 kali sehari, karena kelebihan produksi urin dalam tubuh maka berkemih lebih dari normal sehari.
2. Polifagia (cepat lapar) Adalah kondisi dimana sering merasa lapar.Hal ini disebabkan karena glukosa darah pada penderita DM tidak semuanya dapat diserap oleh tubuh yang berakibat tubuh kekurangan energi.
3. Polidipsia (sering haus) Adalah kondisi akibat dari poliuria (sering kencing) menyebabkan rasa haus yang berlebihan.
4. Mudah lelah Adalah kondisi yang terjadi akibat poliuria dan polidipsi (Sugianto, 2016).
5. Berat badan menurun Adalah kondisi dimana kemampuan metabolisme glukosa terganggu sehingga tubuh tidak dapat menyimpan glukosa dan membuangnya melalui urin, sehingga tubuh mengambil glukosa cadangan di jaringan tubuh sebagai energi (Sugianto, 2016).
6. Luka infeksi yang sukar sembuh Adalah kondisi yang disebabkan efek dari hiperglikemia, sehingga terjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik yang merusak jaringan tubuh (Sugianto, 2016).
g. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan standar DM tipe 2 mencakup pengaturan makanan,latihan jasmani, obat yang memberikan efek hipoglikemia (OHO/Obat Hipoglikemia Oral dan insulin), edukasi/penyuluhan dan pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri (home monitoring) (Waspadji, 2009; Subekti, 2009; Batubara, 2009). Pengelolaan DM sesuai lima pilar utama pengelolaan DM dijabarkan sebagai berikut :
1. Perencanaan Makan (diit)
Perencanaan makan pada pasien DM tipe 2 adalah untuk mengendalikan glukosa, lipid dan hipertensi.
Penurunan berat badan dan diit hipokalori pada pasien gemuk akan memperbaiki kadar hiperglikemia jangka pendek dan berpotensi meningkatkan kontrol metabolik jangka panjang. Sukardji (2009) mengatakan bahwa penurunan berat badan ringan dan sedang (5-10 kg) dapat meningkatkan kontrol diabetes. Penurunan berat badan dapat dicapai dengan penurunan asupan energi yang moderat dan peningkatan pengeluaran energi (Sukardji, 2009).
2. Latihan Jasmani
Masalah utama pada pasien DM tipe 2 adalah kurangnya respon reseptor insulin terhadap insulin, sehingga insulin tidak dapat membawa masuk glukosa ke dalam sel-sel tubuh kecuali otak. Dengan latihan jasmani secara teratur kontraksi otot meningkat yang menyebabkan permeabilitas membran sel terhadap glukosa juga meningkat. Akibatnya resistensi berkurang dan sensitivitas insulin meningkat yang pada akhirnya akan menurunkan kadar gukosa darah (Ilyas, 2009).
Kegiatan fisik dan latihan jasmani sangat berguna bagi pasien diabetes karena dapat meningkatkan kebugaran, mencegah kelebihan berat badan, meningkatkan fungsi jantung, paru, dan otot serta memperlambat proses penuaan (Sukardji & Ilyas, 2009). Latihan jasmani yang dianjurkan untuk pasien diabetes adalah jenis aerobik seperti jalan kaki, lari, naik tangga, sepeda, sepeda statis, jogging, berenang, senam, aerobik, dan menari. Pasien DM dianjurkan melakukan latihan jasmani secara teratur 3-4 kali dalam seminggu selama 30 menit.
3. Penyuluhan
Salah satu penyebab kegagalan dalam pencapaian tujuan pengobatan diabetes adalah ketidakpatuhan pasien terhadap program pengobatan yang telah ditentukan.
Penelitian terhadap pasien diabetes, didapatkan 80% menyuntikkan insulin dengan cara yang tepat 59% memakai dosis yang salah dan 75% tidak mengikuti diet yang dianjurkan (Basuki, 2009). Untuk mengatasi ketidakpatuhan tersebut, penyuluhan terhadap pasien dan keluarga mutlak diperlukan.
Penyuluhan diperlukan karena penyakit diabetes adalah penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup. Pengobatan dengan obat-obatan memang penting, tetapi tidak cukup. Pengobatan diabetes memerlukan keseimbangan antara berbagai kegiatan yang merupakan bagian intergral dari kegiatan rutin sehari-hari seperti makan, tidur, bekerja, dan lain-lain. Pengaturan jumlah dan jenis makanan serta olah raga merupakan pengobatan yang tidak dapat ditinggalkan, walaupun ternyata banyak diabaikan oleh pasien dan keluarga. Keberhasilan pengobatan tergantung pada kerja sama antara petugas kesehatan dengan pasien dan keluarganya. Pasien yang mempunyai pengetahuan cukup tentang diabetes, selanjutnya mau mengubah perilakunya akan mengendalikan kondisi penyakitnya sehingga ia dapat hidup lebih berkualitas (Basuki, 2009).
4. Edukasi
Pemberian edukasi meliputi antara lain pemahaman tentang penyakit, pengendalian penyakit, komplikasi yang ditimbulkan penyakit, pemantauan gula darah dan kemampuan merawat diri sendiri bagi penderita DM. Edukasi dapat dilakukan melalui penyuluhan kesehatan di berbagai pelayanan kesehatan. Pemberian edukasi tentang pencegahan DM terdiri dari: pencegahan secara primer yang diberikan kepada kelompok masyarakat yang beresiko DM dimana belum menderita DM, pencegahan sekunder yang diberikan kepada kelompok masyarakat untuk mencegah dan mengobati DM secara dini dan
pencegahan tersier diberikan kepada kelompok masyarakat yang sudah mengidap DM menahun.
5. Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri (PKGS)
DM tipe 2 merupakan penyakit kronik dan memerlukan pengobatan jangka panjang, sehingga pasien dan keluarganya harus dapat melakukan pemantauan sendiri kadar glukosa darahnya di rumah. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk PKGS adalah dengan pemantauan reduksi urin, pemantauan glukosa darah dan pemantauan komplikasi serta cara mengatasinya (Soewondo, 2009). PKGS kini telah diakui secara luas oleh sekitar 40% pasien DM tipe 1 dan 26% pasien DM tipe 2 di Amerika. ADA mengindikasikan PKGS pada kondisi- kondisi berikut : 1) mencapai dan memelihara kendali glikemik : PKGS memberikan informasi kepada dokter dan perawat mengenai kendali glikemik dari hari ke hari agar dapat memberikan nasihat yang tepat, 2) mencegah dan mendeteksi hipoglikemia, 3) mencegah hiperglikemik, 4) menyesuaikan dengan perubahan gaya hidup terutama berkaitan dengan masa sakit, latihan jasmani atau aktivitas lainnya seperti mengemudi, dan 5) menentukan kebutuhan untuk memulai terapi insulin pada pasien DM gestasional (Soewondo, 2009).
Pemantauan dengan menggunakan A1c merupakan parameter tingkat pengendalian kadar glukosa darah. Kelebihan pemeriksaan A1c adalah mampu menunjukkan kadar rata-rata gula darah selama 8-12 minggu terakhir. Pemeriksaan A1c mempunyai korelasi dengan komplikasi diabetes. Pengendalian dikatakan baik jika kadar HbA1c kurang dari 7% acceptable jika kadar HbA1c antara, 76%-9% (Batubara, 2009).
B. Faktor Stres
a. Definisi
Ada beberapa pembahasan tentang stres diantaranya :
1) Stres dapat didefinisikan sebagai situasi yang cenderung mengganggu keseimbangan antara makhluk hidup dan lingkungannya. Dalam kehidupan sehari-hari ada banyak situasi stres seperti stres tekanan kerja, pemeriksaan, stres psikososial dan stres fisik akibat trauma, operasi dan berbagai gangguan kesehatan (Dalami dan Ermawati, 2010).
2) Stres yang ada saat ini adalah sebuah atribut kehidupan modern. Hal ini dikarenakan stres sudah menjadi bagian hidup yang tidak bisa terelakkan. Baik di lingkungan sekolah, kerja, keluarga, atau dimanapun, stres bisa dialami oleh seseorang. Stres juga bisa menimpa siapapun termasuk anak-anak, remaja, dewasa, atau yang sudah lanjut usia. Dengan kata lain, stres pasti terjadi pada siapapun dan dimanapun. Yang menjadi masalah adalah apabila stres itu banyak dialami oleh seseorang, maka dampaknya adalah membahayakan kondisi fisik dan mentalnya (Ranabir Salam dan K. Reetu, 2011)
b. Sumber Stres/ Stressor
Ada beberapa sumber stres yang berasal dari lingkungan, di antaranya adalah lingkungan fisik, seperti : populasi udara, kebisingan dan lingkungan
kontak social yang bervariasi serta kompitisi hidup yang tinggi. Selain itu, sumber stres yang lain meliputi hal-hal berikut (Nasir dan Muhith, 2011):
Dalam Diri Individuiri Seseorang
Tingkatan stres yang muncul tergantung pada keadaan rasa sakit dan umur individu, selain itu stres
juga akan muncul dalam dalam diri seseorang melalui dorongan-dorongan yang saling berlawanan. Kecenderungan ini menghasilkan tipe dasar konflik Nasir dan Muhith (2011) yaitu sebagai berikut :
a) Konflik pendekatan-pendekatan (approach- avoidance). Yaitu kondisi yang mengharuskan individu mengambil keputusan antara 2 hal tetapi individu mengalami ketakutan untuk menentukan keputusannya karena akibat yang di timbulkan.
b) Konflik pendekatan ganda (approach-aprpoach), yaitu kondisi yang mengharuskan individu memilih satu hal walaupun kedua-duanya sangat di senangi, sikap berlebihan dalam mencapai cita-cita dan mematuhi norma- norma yang di anut. Tekanan dari luar berupa tuntutan dari lingkungan.
c) Konflik penolakan ganda (avoidance-avoidance), yaitu kondisi yang mengharuskan individu memilih salah satu dan kedua hal tersebut tidak disenangi.
Dalam keluarga
Stres yang muncul dapat bersumber dari interaksi diantara para anggota keluarga, yaitu hubungan antara anggota keluarga serta segala permasalahan yang di hadapi, antara orang tua dan anak, adik dan kakak, hal tersebut yang dapat memicu timbulnya stres (Nasir dan Muhith, 2011):
3. Dalam komunitas dan lingkungan
Interaksi individu di luar lingkungan keluarga dapat menjadi sumber stres, baik interaksi antara teman sebaya maupun dengan orang yang lebih tua. Keadaan stres dapat pula bersumber pada hal berikut (Nasir dan Muhith, 2011):
a. Frustasi
Frustasi timbul bila ada hambatan dalam
mencapai tujuan individu. Frustasi dapat berasal dari luar seperti bencana alam, kecelakaan dan kegagalan dalam usaha sehingga penilaian diri menjadi buruk karena kebutuhan rasa harga diri kurang terpenuhi.
b. Konflik
Kondisi ini muncul ketika dua atau lebih perilaku saling berbenturan, di mana masing- masing perilaku tersebut butuh untuk diekspresikan atau malah saling memberatkan.
c. Tekanan (strain)
Tekanan dapat menimbulkan masalah penyesuaian baik tekanan kecil yang terjadi sehari-hari. Tekanan dapat berasal dari dalam berupa sikap berlebihan dalam mencapai cita- cita dan mematuhi norma-norma yang di anut tekanan dari luar berupa tuntunan dari lingkungan untuk menentukan keputusan.
c. Dampak Stres
Stres dapat berpengaruh pada kesehatan dengan dua cara. Pertama, perubahan yang diakibatkan oleh stres secra langsung mempengaruhi fisik sistem tubuh yang dapat mempengaruhi kesehatan. Kedua, secara tidak langsung stres mempengaruhi perilaku individu sehinggga menyebabkan timbulnya penyakit atau memperburuk kondisi yang sudah ada (Nasriati, 2013).
Menurut Nasriati (2013), Kondisi dari stres memiliki dua aspek: fisik/biologis (melibatkan materi atau tantangan yang menggunakan fisik) dan psikologis (melibatkan bagaimana individu memandang situasi dalam hidup mereka) yaitu :
1. Aspek Biologis
Ada beberapa gejala fisik yang dirasakan ketika seseorang sedang mengalami stres, diantaranya adalah sakit kepala yang berlebihan, tidur menjadi tidak nyenyak,
gangguan pencernaan, hilangnya nafsu makan.
2. Aspek Psikologis
Menurut Nasriati (2013), ada 3 gejala psikologis yang dirasakan ketika seseorang sedang mengalami stres. Ketika gejala tersebut adalah gejala kognisi, gejala emosi, dan gejala tingkah laku.
d. Mekanisme Terjadinya Stres
Stres baru nyata dirasakan apabila keseimbangan diri terganggu. Artinya kita baru bisa mengalami stres manakala kita mempersepsi tekanan dari stresor melebihi daya tahan yang kita punya untuk menghadapi tekanan tersebut. Jadi selama kita memandangkan diri kita masih bisa menahankan tekanan tersebut (yang kita persepsi lebih ringan dari kemampuan kita menahannya) maka cekaman stres belum nyata. Akan tetapi apabila tekanan tersebut bertambah besar (baik dari stresor yang sama atau dari stresor yang lain secara bersaman) maka cekaman menjadi nyata, kita kewalahan dan merasakan stres (Musradinur, 2016).
Gambar 2.1 Persepsi daya tekanan dan daya tekanan
Sumber: Musradinur (2016).
e. Faktor Penyebab
Menurut Musradinur (2016), ada 6 faktor-faktor yang mempengaruhi stres yaitu :
1) Faktor-faktor lingkungan
yaitu:
Yang termasuk dalam stresor lingkungan di sini
a) Sikap lingkungan, seperti yang kita ketahui bahwa lingkungan itu memiliki nilai negatif dan positif terhadap prilaku masing-masing individu sesuai pemahaman kelompok dalam masyarakat tersebut. Tuntutan inilah yang dapat membuat individu tersebut harus selalu berlaku positif sesuai dengan pandangan masyarakat di lingkungan tersebut.
b) Tuntutan dan sikap keluarga, contohnya seperti tuntutan yang sesuai dengan keinginan orang tua untuk memilih jurusan saat akan kuliah, perjodohan dan lain-lain yang bertolak belakang dengan keinginannya dan menimbulkan tekanan pada individu tersebut.
c) Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK),
tuntutan untuk selalu update terhadap perkembangan zaman membuat sebagian
individu berlomba untuk menjadi yang pertama tahu tentang hal-hal
yang baru,tuntutan tersebut
juga terjadi karena rasa malu yang tinggi jika disebut
gaptek.
2) Diri sendiri, terdiri dari :
a) Kebutuhan psikologis yaitu tuntutan terhadap keinginan yang ingin dicapai
b) Proses internalisasi diri adalah tuntutan individu untuk terus-menerus menyerap sesuatu yang diinginkan sesuai dengan perkembangan.
3) Pikiran
a) Berkaitan dengan penilaian individu terhadap lingkungan dan pengaruhnya pada diri dan persepsinya terhadap lingkungan.
b) Berkaitan dengan cara penilaian diri tentang cara penyesuaian yang biasa dilakukan oleh individu yang bersangkutan.
f. Penggolongan stress
Selye dalam Rice menggolongkan stress menjadi 2 golongan, penggolongan ini didasarkan atas persepsi individu terhadap stress yang dialaminya, yaitu:
a. Distress (stress negatif)
Selye meyebutkan distress yang merusak atau bersifat tidak menyenangkan. Stres yang dirasakan sebagai suatu keadaan dimana individu mengalami keadaan mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir dan gelisah. Sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negatif, menyakitkan, dan timbul keinginan untuk menghindarinya.
b. Eustress (stress positif)
Selye menyebutkan bahwa eustres bersifat menyenangkan dan merupakan pengalaman yang memuaskan. Hanson mengemukakan frase joy of stress untuk mengungkapkan hal hal yang bersifat positif yyang timbul dari adanya stres. Eustress juga dapat meningkatkan motivasi individu untuk menciptakan sesuatu, misalnya menciptakan karya seni.
g. Strategi mengurangi stres
Ada beberapa strategi untuk mengurangi stres yaitu (Putri, Rima, dan Novia, 2009).
1.
Beri kesempatan pasien untuk mempertahankan identitas.
2.
Berikan informasi yang dibutuhkan
oleh pasien. Stres yang dialami oleh
pasien sering disebabkan kurangnya informasi yang diterima oleh pasien.
3.
Berikan kesempatan pada
pasien
untuk
dapat
mengungkapkan perasaan dan fikirannya.
4.
Beri reinforcement tentang aspek positif yang dapat dilakukan
oleh pasien.
5.
Rencanakan kunjungan dengan pasien lain yang mempunyai masalah
yang sama. Hal ini dapat dilakukan
agar pasien dapat saling tukar informasi dan
berbagai pengalaman dalam upayanya menurunkan stres.
h. Alat ukur tingkat stres
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur tingkat stres yaitu dengan menggunakan kuesioner DASS (Depression Anxiety Stres Scale). Unsur yang dinilai antara lain skala stres. Pada kuesioner ini terdiri dari 14 pertanyaan. Penilaian dapat diberikan dengan menggunakan 0: Tidak pernah, 1: Kadang- kadang, 2: Sering, 3: Hampir setiap saat. Untuk penilaian tingkat stres dengan ketentuan sebagai berikut menurut Lestari (2015) :
Normal : 0-14
Ringan : 15-18
Sedang : 19-25
Berat :26-33 Sangat berat : >34
i. Kriteria penilaian menurut DASS
Tingkatan stres pada instrument ini berupa normal, ringan, sedang, berat dan sangat berat. Psvchometric Properties Of The Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS) yang terdiri dari 42 item, yang mencakup :
1.
Skala depresi
Skala depresi termasuk respon fisiologis/fisik menurut DASS terdiri dari beberapa nomor antara lain : 3 (tidak dapat melihat hal yang positif dari suatu kejadian), 5 (merasa
sepertinya tidak kuat lagi untuk melakukan suatu kegiatan),
10 (Pesimis), 13 (Merasa sedih dan depresi), 16 (Kehilangan minat pada banyak hal missal makan, ambulasi, sosialisasi), 17 (Merasa tidak layak), 21 (Merasa hidup tidak berharga), 37 (Tidak ada harapan untuk masa depan), 38 (Merasa hidup tidak berarti), 42 (Sulit untuk meningkatkan insiatif dalam melakukan sesuatu). Dengan skor normal (0- 9), ringan (10-13), sedang (14- 20), berat (21-27), sangat berat (>28).
2.
Skala kecemasan
Skala kecemasan termasuk respon perilaku menurut DASS terdiri dari beberapa nomr antara lain : 2 (Mulut terasa kering), 4 (Merasakan gangguan dalam bernafas seperti nafas cepat, sulit bernafas), 7 (Kelemahan pada anggota tubuh), 9 (Cemas yang berlebihan dalam suatu situasi namun bias lega jika hal atau situasi itu berakhir), 15 (Kelelahan), 19 (Berkeringat seperti tangan berkeringat tanpa stimulasi oleh cuaca maupun latihan fisik), 20 (Ketakutan tanpa alas an yang jelas), 23 (Kesulitan dalam menelan), 25 (Perubahan kegiatan jantung dan denyut nadi tanpa stimulus oleh latihan fisik), 28 (Mudah Panik), 30 (Takut diri terhambat oleh tugas-tugas yang tidak biasa dilakukan), 36 (Ketakutan),
40 (Khawatir dengan situasi saat diri anda mungkin menjadi panic dan mempermalukan diri sendiri), 41 (Gemetar). Dengan skor normal (0-7), ringan (8-9), sedang (10-14),
berat (15-19), sangat berat (>20).
3.
Skala stres
Skala stres termasuk psikologis/emosi menurut DASS terdiri dari beberapa nomor antara lain : 2 (Menjadi marah karena hal-hal kecil atau sepele), 6 (Cenderung bereaksi berlebihan pada situasi), 8 (Kesulitan untuk relaksasi atau bersantai), 11 (Mudah merasa kesal), 12 (Merasa banyak menghabiskan energi karena cemas), 14 (Tidak sabarann),
18 (Mudah tersinggung), 22 (Sulit untuk beristirahat), 27 (Mudah marah), 29 (Kesulitan untuk tenang setelah sesuatu yang mengganggu), 32 (Sulit untuk menoleransi gangguan- gangguan terhadap hal yang sedang dilakukan), 33 (Berada pada keadaan tegang), 35 (Tidak dapat memaklumii hal apa pun yang menghalangi anda untuk menyelesaikan hal yang sedang anda lakukan), 39 (Mudah gelisah). Dengan skor normal (0-14), ringan (15-18), sedang (19-25), berat (26-33), sangat berat (>34).
C. Asupan Makan
a. Definisi
Asupan makan adalah semua jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi tubuh setiap hari. Mengetahui asupan makanan dalam suatu kelompol masyarakat atau individu merupakan salah satu cara untuk menduga keadaan gizi kelompok masyarakat atau individu (Yuniastuti,2008).
Asupan makanan yang harus ditaati oleh pasien DM tipe 2 adalah diet DM dimana diet ini sangat dipengaruhi oleh asupan makannya sehingga untuk terapi medis hendaknya mengendalikan glukosa, lemak dan natrium. Perencanaan makan hendaknya dengan kandungan zat gizi yang cukup, disertai pengurangan total lemak terutama lemak jenuh. Konsumsi energi yang melebihi kebutuhan tubuh menyebabkan lebih banyak glukosa yang ada dalam tubuh. Gula merupakan sumber makanan dan bahan bakar bagi tubuh yang berasal dari proses pencernaan makanan. Pada penderita diabetes mellitus tipe II, jaringan tubuhnya tidak mampu untuk menyimpan dan menggunakan glukosa, sehingga kadar glukosa darah akan naik dan akan menjadi racun bagi tubuh. Tingginya asupan energi dari makanan akan mengakibatkan tinggnya kadar glukosa darah (Hartono, 2002).
Semakin tinggi Indeks Glikemik suatu makanan maka semakin cepat dampaknya terhadap kenaikan glukosa darah. Pengaruh makanan dengan indeks glikemik tinggi adalah
meningkatkan kecepatan dan menambah jumlah kadar glukosa dalam darah dengan cepat. Nilai indeks glikemik suatu makanan ≥ 70 tergolong tinggi, sedangkan 56-69 sedang dan ≤ 55 rendah (Ostman, 2001).
Konsumsi makanan yang mengandung indeks glikemik tinggi dapat menyebabkan resistensi insulin dan merangsang penurunan sekresi insulin yang dapat mempengaruhi kerja atau fungsi dari sel b-pankreas dan menurunkan kadar glukosa dari reseptor insulin. Jika pasien diabetes sering mengonsumsi makanan dengan indeks glikemik tinggi, akan berdampak pada komplikasi seperti katarak, gagal ginjal, serangan jantung koroner, gangren, ketoasidosis, hingga stroke (Almatsier, 2006).
b. Asupan Karbohidrat
Efek karbohidrat pada kadar gula darah sangatlah kompleks. Sumber – sumber gula yang dimurnikan (refined sugar) akan diserap lebih cepat dibandingkan dengan karbohidrat yang berasal dari pati atau makanan berserat, seperti sereal, buah atau dari makanan dengan karbohidrat kompleks.
Makanan dengan IG tinggi akan menyebabkan kenaikan kadar glukosa darah lebih cepat. Diet rendah IG dapat memperbaiki kadar glukosa darah dalam jangka pendek dan panjang. Makanan dengan IG rendah diantaranya Whole Grain, buah buahan, sayuran, dan kacang kacangan yang juga makanan tinggi serat (Ani Astuti,dkk 2017).
c. Asupan Lemak
Tujuan diet diabetes melitus kaitanya dengan lemak makanan pada pasien DM tipe 2 adalah membatasi asupan lemak jenuh dan kolesterol. Lemak jenuh merupakan determinan diet yang penting untuk menentukan kadar LDL kolesterol di dalam plasma. Aspek paling penting berhubungan dengan komposisi diet adalah konsumsi lemak jenuh <10% dari total energi atau bahkan
<8% bagi pasien dengan risiko kardiovaskuler tinggi. Asupan lemak jenuh memberikan efek terhadap metabolisme lemak
(meningkatkan kolesterol LDL), resistensi insulin, dan tekanan darah (Almatsier,2008) Makanan yang mengandung lemak jenuh tinggi yang perlu dibatasi adalah terutama dari daging, makanan laut (seafood), produk susu seperti keju dan es krim.
Pada pasien diabetes
melitus juga dianjurkan untuk mengurangi lemak
tidak jenuh trans (asam
lemak yang terbentuk ketika minyak
nabati menjalani hidrogenasi) karena jenis lemak ini memberikan efek yang merugikan pada kadar LDL kolesterok plasma.
Membatasi makanan selingan
(snack) yang
pengolahannya dengan cara dipanggang atau dibakar dan makanan olahan yang banyak mengandung lemak trans.
d. Asupan Protein
Protein merupakan sumber asam amino yang dibutuhkan tubuh untuk proses pertumbuhan serta sumber energi bersama karbohidrat dan lemak. Protein terdiri dari 2 jenis yaitu protein hewani dan protein nabati, pada masyarakat Indonesia sumber utama protein berasal dari jenis nabati yang bersumber pada beberapa kacang-kacangan karena mudah didapat dan harganya relatif murah.
Asupan protein yang tidak sesuai dengan kebutuhan akan mempengaruhi kadar gula darah disebabkan salah satu fungsi protein adalah sebagai sumber energi tubuh, untuk menjadi energi ada beberapa jenis asam-asam amino yang masuk kejalur karbohidrat melalui proses glukoneogenesis. Hal ini dapat juga terjadi bila tubuh kurang asupan energi makanannya (Kartasa dan Marsetyo, 2005). fungsi utama protein adalah untuk pertumbuhan dan mengganti sel-sel yang rusak. Protein akan digunakan sebagai sumber energi apabila ketersediaan energi dari sumber lain yaitu karbohidrat dan lemak tidak mencukupi melalui proses glikoneogenesis.
Pada penelitian Olga Lieke P. tahun 2012 tidak ditemukannya hubungan yang signifikan antara protein dan pengendalian glukosa darah. Meskipun analisis menunjukkan
tidak ada hubungan yang nyata namun secara deskriptif ada kecenderungan pengidap DM tipe 2 yang mengkonsumsi protein melebihi kebutuhan memiliki kadar glukosa darah tidak terkendali, hal ini disebabkan karena asupan protein yang berlebihan mengakibatkan degradasi asam amino berlebihan dan akan menjadi precursor glukosa dan asetil-CoA yang akan digunakan sebagai sumber energi (Linder, 1985). Hal tersebut juga dikemukakan oleh: Asdie (2000) bahwa pada pengidap diabetes yang tidak terkendali protein tubuh akan dipecah menjadi asam amino yang akan digunakan sebagai substrat untuk proses glikoneogenesis sehingga kadar glukosa darah pengidap diabetes semakin meningkat. Almatsier (2003), protein dalam jumlah yang berlebihan akan diubah menjadi lemak dan disimpan dalam tubuh yang juga akan menjadi substrat untuk proses glikoneogenesis.
E. Hubungan Stress dengan Asupan Makan
Perilaku makan yang berhubungan dengan stres adalah emotional over eating (EOE). Ada beberapa mekanisme stres mempengaruhi perilaku makan. Mekanismenya melibatkan hormon noradrenalin dan CRH yang dapat menurunkan nafsu makan dan juga ada kortisol yang dapat meningkatkan nafsu makan. Terdapat dua macam stres, yaitu stres akut dan kronis dimana mekanisme keduanya juga berbeda. Stres akut, stres yang terjadi dalam waktu yang singkat dengan tekanan yang cukup kuat tetapi menghilang dengan cepat, cenderung menurunkan nafsu makan dengan melibatkan aktivasi sistem simpatik adrenal medular, yaitu dengan sekresi hormon noradrenalin yang menurunkan nafsu makan sehingga mengakibatkan curah jantung, tekanan darah dan kadar trigliserida meningkat, serta menurunkan aliran darah ke kulit, ginjal dan sistem pencernaan.(A. Wijayati, 2019)
Stres kronis merupakan bagian dari stress negatif yang artinya stress yang terjadi setiap hari dalam jangka waktu yang panjang, akan melibatkan sistem pituitary-adrenal-kortikol, dimana hipotalamus akan mengsekresi CRH yang menurunkan nafsu makan. Setelah
beberapa jam atau hari, kortisol akan menaikkan nafsu makan serta kadar glukokortikoid akan meningkat. Peningkatan tersebut akan menyebabkan tingginya aktivitas lipoprotein lipase sehingga mobilisasi penyimpanan energi pada jaringan visceral akan meningkat.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Annisa W,dkk 2019 pada 46 mahasiswa tingkat ahkir, perilaku makan emotional over eating memiliki hubungan yang lebih signifikan dengan stres (p 0,031) dibandingkan dengan perilaku makan emotional under eating. Sebanyak 23,9% subjek mengalami emotional over eating, dimana peningkatan nafsu makan terjadi apabila stres yang dialami telah terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama atau kronis. Stres kronis lebih berpengaruh terhadap perubahan perilaku makan dibandingkan dengan stres akut dalam penelitian ini. Jadi, penelitian stres karena tugas akhir merupakan salah satu bentuk stres kronis karena prosesnya panjang.
Hal ini serupa dengan teori yang ada, yaitu seseorang yang stres cenderung lebih memilih makanan tinggi karbohidrat dan lemak. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan di Eropa, yaitu terdapat hubungan antara stres dengan konsumsi makanan tinggi karbohidrat, gula dan lemak Penelitian yang dilakukan di Brazil mendapatkan hasil bahwa mahasiswa yang stres berhubungan dengan emotional over eating dan sering mengkonsumsi makanan cepat saji (Mikolajczyk dalam Annisa W, 2019)