MEDIA ADVOKASI
Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Advokasi Gizi
Yang dibina oleh :
Juin Hadisuyitno, SST, M.Kes
Disusun Oleh :
Nindya Tresna Wiwitan
P17111171005/IIIA
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN GIZI
PROGRAM SARJANA TERAPAN GIZI DAN DIETETIKA
MALANG
2020
MEDIA ADVOKASI
Media Tradisional
Pengertian
Indonesia memiliki beragam suku dan adat istiadat yang sampai saat ini masih dilestarikan oleh para ketua adat di suatu wilayah atau daerah tertentu. Menurut Suprawoto (2011), Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau, 485 suku bangsa dan 583 bahasa daerah. Fakta ini menunjukkan begitu beragamnya etnis, bahasa, adat istiadat, begitu pula pola komunikasi maupun budaya lokal yang terdapat pada setiap suku bangsa tersebut. Indonesia sangat kaya dengan aneka ragam jenis media tradisional atau media pertunjukan rakyat untuk menyampaikan informasi atau sekadar menghibur.
Menurut Blake dan Haralsen, (Cangara, 2002), media adalah medium yang digunakan untuk menyampaikan sesuatu pesan, di mana medium ini merupakan jalan atau alat dengan suatu pesan berjalan antara komunikator dengan komunikan. Merujuk pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 08 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengembangan Pemberdayaan Lembaga Komunikasi Sosial, media tradisional ialah kelompok pertunjukan rakyat atau kelompok sejenis lainnya yang melakukan kegiatan diseminasi informasi dan penyerapan aspirasi masyarakat.
Kamus Bahasa Indonesia mengartikan kata tradisional adalah menurut tradisi sedangkan tradisi diartikan sebagai, (a) adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat; (b) penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar (KBBI, 2008: 1.543). Mengacu pada definisi tersebut, media tradisional dapat dimaknai sebagai kesenian tradsional atau seni pertunjunkkan rakyat yang diciptakan dan diwariskan oleh pendahulu. Kasim (2010), mendefinisikan kesenian tradisional sebagai bentuk seni yang bersumber dan berakar dari komunitas pendukungnya. Dalam studi ilmu komunikasi, seni tradisional disebut pula sebagai media tradisional yang sering kali dikontraskan dengan media massa atau media arus utama lainnya yang didukung oleh teknologi komunikasi modern (Nurudin, 2007: 114).
Media tradisional disebut juga sebagai media rakyat. Ranganath mendefinisikan media rakyat sebagai ekspresi hidup tentang gaya hidup dan kebudayaan sebuah masyarakat, yang berkembang selama bertahun-tahun (Rochayat dan Ardiyanto, 2011).
Beberapa keunggulan dari media rakyat atau media tradisional selayaknya membuka mata pemerintah maupun lembaga lainnya, untuk menggunakan dan mengembangkannya secara luas. Alternatif seperti ini merupakan strategi pembangunan yang cerdas, mengingat penguasaan dan penciptaan teknologi masih rendah pada masyarakat kita. Hasil penelitian R.J. Griffin (2003) menemukan bahwa perencana kampanye informasi yang berhubungan dengan isu-isu kompleks masyarakat, secara eksplisit perlu memilih jenis media berbeda atau sesuai, sehingga dapat menjangkau sektor khalayak yang berbeda (Dilla, 2007). Oleh karena itu, dibutuhkan media komunikasi yang tepat dan bersifat dekat dengan masyarakat agar pesan-pesan pembangunan yang ingin disampaikan dapat dengan mudah dimengerti oleh masyarakat.
Sifat Sifat Media Tradisional
Menurut Ranganath menuturkan bahwa media tradisional itu akrab dengan massa khalayak, kaya akan variasi, dengan segera tersedia, dan biayanya rendah. Ia disenangi baik oleh pria maupun wanita dari berbagai kelompok umur. Secara tradisional media ini dikenal sebagai pembawa tema. Di samping itu, ia memiliki potensi yang besar bagi komunikasi persuasip, komunikasi tatap muka, dan umpan balik yang segera.
Menurut Rapen menyatakan bahwa media ini secara komparatif murah. Ia tidak perlu diimpor, karena ia merupakan milik komunitas. Di samping itu media ini tidak akan menimbulkan ancaman kolonialisme kebudayaan dan dominasi ideologi asing. Terlebih lagi, kredibitasnya lebih besar karena ia mempertunjukkan kebolehan orang-orang setempat dan membawa pesan-pesan lokal, yang tidak berasal dari pemerintah pusat. Media rakyat ini bersifat egaliter, sehingga dapat menyalurkan pesan-pesan kerakyatan dengan lebih baik daripada surat kabar yang bersifat elit, film, radio dan televisi yang ada sekarang ini.
Sifat-sifat umum media tradisional ini, antara lain ialah mudah diterima, relevan dengan budaya yang ada, menghibur, menggunakan bahasa lokal, memiliki unsur legimitasi, fleksibel, memiliki kemampuan untuk mengulangi pesan-pesan yang dibawanya, komunikasi dua arah, dan sebagainya.
Tema yang biasanya berkembang dalam media rakyat menyangkut ekspresi hidup, keteladanan, simbol-simbol, ritual, cita-cita budaya, dan nilai (baik dan buruk). Dalam tema tersebut disisipkan pesan-pesan atau informasi yang telah dititipkan. Di sini pertunjukan rakyat berfungsi menuntun masyarakat untuk memahami batas baik dan buruk yang mesti dilakukan dan cara melakukannya. Melalui pertunjukkan rakyat segala ide, gagasan, atau inovasi pembangunan, diceritakan dan disesuaikan dengan bentuk media yang ada. Dengan demikian, ide pembangunan dan produk-produk kebudayaan lokal masyarakat dapat saling mengisi (Dilla, 2012).
Oleh karena sifat - sifat di atas, media ini dapat berfungsi sebagai pembawa pesan yang lebih baik daripada media lainnya bagi kesejahteraan seluruh warga masyarakat dalam berbagai aspek pembangunan social, ekonomi, dan budaya. Kesejahteraan ini diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia di daerah pedesaan secara menyeluruh.
Di pihak lain, Dissanayake (1977) menunjukkan kelebihan media rakyat ini jika dibandingkan dengan media massa yang ada di Negara-negara yang sedang berkembang. Pertama, kredibilitas media tradisional lebih besar, karena ia telah lama dikenal. Media tersebut dapat mengekspresikan kebutuhan, kegembiraan, kesedihan, kemenangan, ataupun kekecewaan masyarakat yang mendalam karena menderita kekalahan. Kedua, para petani menganggap bahwa media massa di negeri mereka bersifat elit, yang hanya melayani kepentingan kelompok yang berkuasa. Media tradisional menggunakan ungkapan-ungkapan dan symbol-simbol yang mudah dipahami oleh rakyat, dan mencapai sebagian dari populasi yang berada di luar jangkauan pengaruh media massa, dan yang menuntut partisipasi aktif dalam proses komunikasi.
Tujuan Penggunaan Media Tradisional
Ada beberapa tujuan penggunaan media rakyat (tradisional), yakni:
Membangun hubungan kedekatan
Pengikat/perekat transaksi social
Pengakuan/penghargaan identitas diri dan eksistensi budaya
Penyeimbang dominasi media modern, dan
Menghilangkan pembatas sistem tradisional dan modern.
Bentuk Media Tradisional
Bentuk yang biasanya digunakan antara lain :
Teater rakyat. Teater Tradisional Rakyat adalah teater yang lahir dan berkembang di tengah-tengah masyarakat kecil di kampung atau desa. Lahirnya Teater Tradisional Rakyat ini atas dasar kebutuhan masyarakat tersebut akan hiburan dan juga kebutuhan sebagai sarana untuk melakukan upacara-upacara baik upacara agama, maupun adat istiadat. Lambat laun kebutuhan upacara berubah fungsinya menjadi sarana hiburan saja (Durachman, 2009)
Dongeng. Dongeng adalah cerita yang tidak benar-benar terjadi dan dalam banyak hal sering tidak masuk akal (Nurgiantoro, 2005). Pendapat lain mengenai dongeng adalah cerita yang tidak benar-benar terjadi, terutama tentang kejadian zaman dulu yang aneh-aneh (Hasan, 2007).
Pantun. Pantun menunjukkan ikatan yang kuat dalam hal struktur kebahasaan atau tipografi atau struktur fisiknya. Struktur tematik atau struktur makna dikemukakan menurut aturan jenis pantun. Ikatan yang memberikan nilai keindahan dalam struktur kebahasaan itu, berupa : (1) jumlah suku kata setiap baris; (2) jumlah baris setiap bait; (3) jumlah bait setiap puisi dan (4) aturan dalam hal rima dan ritma (Waluyo, 2006)
Wayang
Ludruk
Alat bunyi-bunyian (Bedug, gong, kentongan)
Ungkapan rakyat (peribahasa, pameo, pepatah)
Fungsi Media Tradisional
William Boscon (Nurudin, 2004) mengemukakan fungsi-fungsi pokok folklor sebagai media tradisional, yaitu sebagai sistem proyeksi, penguat adat, alat pendidik, dan alat paksaan dan pengendalian sosial. Ciri dari setiap media tradisional adalah partisipasi warga, melalui keterlibatan fisik atau psikis. Media tradisional tidak hanya sebagai obyek hiburan (spectacle) dalam fungsi pragmatis untuk kepentingan sesaat, tetapi dimaksudkan untuk memelihara keberadaan dan identitas suatu masyarakat (Siregar, 2006).
Adapun menurut Kadri, ada dua kategori seni tradisional dalam kaitan fungsi komunikasi sosial. Pertama, seni tradisional yang dapat dijadikan sebagai media penghimpun massa, tetapi tidak berkarakter sebagai penyampai pesan secara langsung. Dalam hal ini penyampaian pesan dilakukan dengan memanfaatkan momentum berkumpulnya orang banyak lalu di situ disampaikan pengumuman. Adapun yang termasuk dalam kategori ini ialah karya seni non drama/teater, seperti musik tradisional, dan berbagai jenis tari. Kedua, seni tradisional yang dapat dimanfaatkan secara langsung sebagai media komunikasi sosial, yaitu semua seni tradisional yang berbasis drama dan teater sehingga pesan pembangunan dapat disampaikan secara menyatu dengan alur cerita (Kadri, 2011: 33-34).
Dukungan pengembangan pemberdayaan media tradisional juga dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI dengan mengeluarkan regulasi yaitu Peraturan Kementerian Komunikasi dan Informasi RI No.17/PER/M.KOMINFO/ 03/2009 tentang Diseminasi Informasi Nasional dan Peraturan Menteri Kominfo RI No. 08/PER/M.KOMINFO/6/2010 tentang Pedoman Pengembangan Pemberdayaan Lembaga Komunikasi Sosial. Kedua peraturan tersebut mengatur mengenai perlunya pemerintah baik pusat maupun daerah untuk melakukan diseminasi melalui media baik media elektronik maupun media lainnya, serta pengembangan dan pemberdayaan lembaga komunikasi sosial yang ada di daerah, salah satunya adalah media pertunjukan rakyat.
Di Tahun 2012, Kementerian Komunikasi dan Informatika menggunakan media tradisional (pertunjukan rakyat/petunra) sebagai sarana diseminasi informasi isu-isu strategis melalui berbagai media dengan tema-tema utama, sebagai berikut:
1. Keterbukaan Informasi
2. Nation Character Building
3. Anti Korupsi
4. Penangulangan HIV/AIDS
5. Penyalagunaan Penggunaan Narkoba
6. Human Trafficking
7. Pekan Produk Kreatif Indonesia
8. Blue Economy
9. Disaster Risk Reduction
10. Climate Change
11. Pembatasan Bahan Bakar
Minyak
12. ASEAN Community
13. Flu Burung, dan
14. Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN
2. Media Konvensional
Pengertian
Ada banyak ragam dalam menyebut media massa konvensional. Sebagian ahli menamainya media massa arus utama, ada pula yang menggunakan media lama (old media) dan lainnya lebih akrab dengan sebutan media konvensional. Pada esensinya, media konvensional merupakan media yang mengandalkan teknologi cetak (seperti buku, majalah, dan koran), teknologi kimi (film), dan teknologi elektronik seperti televisi, radio, dan perekam suara (Vivian, 2015 : 9-13).
Media masaa konvensional secara umum bertujuan untuk memaksimalisasi khalayak dalam hal isi media (Kennix, 2011 : 19). Artinya, pesan yang sama dapat disampaikan secara meluas dan serempak pada khalayaknya dari berbagai wilayah. Hal ini sesuai dengan karakteristik media konvensional itu sendiri
Bentuk Media Konvensional
Media konvensional secara umum dibedakan lagi menjadi dua yakni media cetak dan media elektronik. Media cetak didefinisikan sebagau media yang proses penyebaran informasinya dilakukan dengan menggunakan teknologi cetak, dan dalam bentuk cetak. Media komunikasi yang termasuk dalam media cetak adalah surat kabar, majalah, dan buku. Bentuk bentuk media cetak ini, bisa digolongkan lagi menurut eempat kategori yakni binding (cara merekatkan), reguliaritas, isi, dan ketepatan waktu timeliness. Sementara itu, media elektronik adalah media yang menyampaikan dan menyebarkan pesan serta informasinya secara elektronik. Media komunikasi yang termasuk di dalamnya meliputi media penyiaran (radio dan televisi) dan film (Vivian, 2015 : 10-12)
Karakteristik Media Konvensional
Karakteristik yang dimiliki oleh komunikasi media konvensional dengan betuk digital pada era ini ditemukan beberapa perubahan karakteristik. Triangulasi teori yang digunakan dalam penelitian ini memperoleh hasil kajian karakteriristik media massa di era konvengensi media sebagai berikut:
Komunikator Terlembagakan
Pada era digital banyak sekali ditemukan media massa baru berbentuk online, namun dengan kemudahan untuk menyampaikan informasi, media baru tersebut mesti berbadan hukum karena sebagai dasar legalitas menjadi perusahaan pers. Media massa dalam berbagai bentuk cetak, elektronik dan online wajib menempuh verifikasi faktual dari dewan pers. Hal ini menunjukkan tanggungjawab sebagai perusahaan media pemberi informasi pada publik.
Pesan Bersifat Umum
Komunikannya yang Anonim dan Heterogen
Pada kategori ini, terdapat kolaborasi yang erat antara bentuk media yang konvensional dengan digital. Komunikan pada media konvensional bisa jadi anonim tetapi pada media digital, komunikan selain anonim juga bisa saling mengenal. Karena, media digital membenuk jarigan komunikasi melalui instant messaging untuk penyebarluasan informasi. Biasanya antara khayalak media saling mengenal dalam instant messanging yang khusus dibuat untuk penyebaran informasi sebuah media massa online. Kategori heterogen memang menjadi karakteristik yang menetap antara bentuk digital dan konvensional. Derajat perbedaannya bisa secara demografis, geografis dan psikis
Media Massa Menimbulkan Keserempakan
Pada karakter ini tentu saja terdapat makna bahwa kecepatan informasi yang sampai pada khalayak tergantung dengan bentuk medianya. Jika pada media massa konvensioal, keserampakan terjadi tetapi legih lambat dibandingkan media online. Keserempakan media massa itu adalah keserempakan kontak dengan sejumlah besar penduduk dalam jarak yang jauh dari komunikator, dan penduduk tersebut satu sama lainnya berada dalam keadaan terpisah
Komunikasi Massa mengutamakan isi daripada hubungan
Komunikasi bersifat satu arah
Stimuli alat indera terbatas
Umpan balik tertunda
3. Media Sosial
Pengertian
Perkembangan teknologi informasi membawa sebuah perubahan dalam masyarakat. Lahirnya media sosial menjadikan pola perilaku masyarakat mengalami pergeseran baik budaya, etikan dan norma yang ada. Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar dengan berbagai kultur suku, ras dan agama yang beraneka ragam memiliki banyak sekali potensi perubahan sosial. Dari berbagai kalangan dan usia hampir semua masyarakat Indonesia memiliki dan menggunakan media sosial sebagai salah satu sarana guna memperoleh dan menyampaikan informasi ke publik.
Media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia.
Karakteristik Media Sosial
Perkembangan media sosial yang sangat pesat belum dapat menggantikan peran media-media konvensional. Meskipun trend pertumbuhan pengguna media sosial cukup menjadi tekanan bagi media konvensional, namun menurut Ulin peran media konvensional ini belum bisa digeser oleh media sosial karena jangkauannya yang masih terbatas pada segmen tertentu. Ulin menggunakan perumpamaan bahwa semua orang bisa main bola, tapi tidak semua orang bisa menjadi pemain bola profesional. Media sosial unggul dalam hal kecepatan mengakses informasi, namun untuk urusan ketepatan media konvensional masih lebih dipercaya.
Keunggulan media sosial adalah sifatnya yang lebih cair dan lebih komunikatif, dimana konsumen berita bisa mengkonfirmasi kepada produsen berita. Sirkulasi informasi tidak bisa lagi dimonopoli oleh satu pihak. Berita mengenai pembubaran BP Migas adalah salah satu contoh dimana berita itu awalnya sepi di media konvensional, namun ramai dibicarakan di media sosial. Pada akhirnya berita mengenai pembubaran BP migas inipun muncul di media konvensional setelah cukup intens lalu-lalang di media sosial. Disinilah persilangan antara media konvensional dan media sosial. Dia tidak seharusnya dihadapkan saling menegasikan, namun justru disejajarkan saling melengkapi (Adaba, 2012).
Melihat trend media sosial di Indonesia, selama ini memang telah berhasil menjadi alat penekan yang cukup efektif untuk isu-isu tertentu. Namun ada yang perlu dicermati, bahwa keberhasilan peran media sosial selama ini masih terbatas pada isu-isu yang heroik mapun pada peristiwa-peristiwa elektoral seperti pada kasus kemenangan Jokowi dalam Pilgub DKI. Terkait peran media sosial sebagai sarana advokasi kebijakan publik yang efektif, sepertinya masih butuh perjalanan panjang. Hal itu dikarenakan masyarakat pengguna media sosial lebih mudah dipancing dengan isu-isu yang sifatnya eksplosif dan membakar emosi. Sementara untuk advokasi kebijakan publik, pemanfaatan media sosial akan membutuhkan konsistensi dan waktu yang panjang (Adaba, 2012).
Contoh Penggunaan Media Sosial sebagai Media Advokasi di Indonesia
Di Indonesia, penggunaan internet dan media sosial oleh OMS dalam berbagai kegiatan advokasi juga mengalami peningkatan khususnya dalam 5 tahun terakhir. Beberapa OMS secara sengaja didirikan untuk tujuan advokasi publik berbasis ICT. Sebut saja change.org yang melakukan advokasi publik dengan cara membuat petisi mengenai suatu isu yang disebarkan melalui email untuk kemudian menjadi pembahasan di masyarakat dan ditujukan pada pemangku yang berwenang dan pada akhirnya mengarah pada perubahan kebijakan. Salah satu usaha petisi yang berhasil diusung oleh lembaga ini adalah tentang penghentian penggunaan bom dalam penangkapan ikan di Mentawai. Terkait isu HIV, Indonesia AIDS Coalition (IAC) pada tahun 2010 membuat kampanye melalui akun Twitter ODHAberhaksehat dengan tujuan meningkatkan kepedulian masyarakat luas terkait isu HIV serta penjangkauan dan dukungan bagi ODHA. IAC juga mulai mengembangkan teknologi lain seperti AIDS Digital dan iMonitor yang dapat digunakan untuk meningkatkan dukungan bagi ODHA. Contoh lainnya ada gueberani.com yang menggunakan media sosial seperti Facebook, Twitter dan BBM chat untuk memperluas cakupan program termasuk meningkatkan akses layanan VCT dan kesehatan lainnya
Bentuk Bentuk Media Sosial
Media sosial teknologi mengambil berbagai bentuk termasuk majalah, forum internet, weblog, blog sosial, microblogging, wiki, podcast, foto atau gambar, video, peringkat dan bookmark sosial. Dengan menerapkan satu set teori-teori dalam bidang media penelitian (kehadiran sosial, media kekayaan) dan proses sosial (self- presentasi, self-disclosure) Kaplan dan Haenlein menciptakan skema klasifikasi untuk berbagai jenis media sosial dalam artikel Horizons Bisnis mereka diterbitkan dalam 2010. Menurut Kaplan dan Haenlein ada enam jenis media sosial:
Proyek Kolaborasi Website mengijinkan usernya untuk dapat mengubah, menambah, ataupun me-remove konten konten yang ada di website ini. Contohnya : Wikipedia
Blog dan microblog User lebih bebas dalam mengekspresikan sesuatu di blog ini seperti curhat ataupun mengkritik kebijakan pemerintah.
Contohnya : twitter
Konten Para user dari pengguna website ini saling meng-share konten konten media, baik seperti video, ebook, gambar, dan lain lain.
Contohnya : youtube
Situs jejaring sosial Aplikasi yang mengizinkan user untuk dapat terhubung dengan cara membuat informasi pribadi sehingga dapat terhubung dengan orang lain. Informasi pribadi itu bisa seperti foto foto.
Contohnya : facebook
Virtual game world Dunia virtual, dimana mengreplikasikan lingkungan 3D, dimana user bisa muncul dalam bentuk avatar avatar yang diinginkan serta berinteraksi dengan orang lain selayaknya di dunia nyata. contohnya game online.
Virtual social world Dunia virtual yang dimana penggunanya merasa hidup di dunia virtual, sama seperti virtual game world, berinteraksi dengan yang lain. Namun, Virtual Social World lebih bebas, dan lebih ke arah kehidupan, contohnya second life.
DAFTAR PUSTAKA
Adaba. (2012). Peran Media Sosial dalam Advokasi Kebijakan Publik. http://www.politik.lipi.go.id/kegiatan/711-peran-media-sosial-dalam-advokasi-kebijakan-publik-catatan-diskusi-wwwpolitiklipigoidq-. Diakses pada tanggal 23 Mei 2020
Cangara, H. (2002). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suprawoto. (2011). Lestarikan Tradisi Kelola Informasi, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Kominfo, Jakarta.
Dilla, S. (2007). Komunikasi Pembangunan: Pendekatan Terpadu. Bandung: Simbiosa. Dilla, S. (2012). Komunikasi Pembangunan. Bandung: Simbiosa
Durachman & Yoyo C. (2009). Teater Tradisional & Teater Baru. Bandung: STSI Press.
Hasan, A. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka’
Nurgiyantoro, B. (2005). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Siregar, A. (2006). Etika Komunikasi. Yogyakarta : Pustaka Book.
Waluyo, H. J. (2006). Pengkajian dan Apresiasi Prosa Fiksi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret
No comments:
Post a Comment