Thursday, December 24, 2020

 

Metrum Kinanthi dalam Serat Rama 07.248 M

Mardhayu Wulan Sari


 Abstrak 

 Kinanthi dalam Serat Rama 07.248 M merupakan pupuh ketiga belas dan terdiri atas delapan belas bait. Kinanthi merupakan salah satu nama tembang macapat yang memiliki pola persajakan guru gatra enam baris, guru wilangan dan guru lagu 8u, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i.  Pada pupuh ketiga belas, terdapat ketidaksesuaian pola persajakan sehingga perlu dilakukan perbaikan terhadap bait-bait dalam pupuh tersebut. Perbaikan yang dilakukan meliputi penambahan atau pengurangan kata agar pola persajakannya sesuai. Perubahan beberapa bunyi tidak dilakukan untuk mempertahankan kekhasan teks. Teks yang disajikan dalam tulisan ini meliputi teks hasil transliterasi, yaitu perubahan teks terbatas pada aksara dan tanda baca, teks yang telah diperbaiki bacaannya kemudian disusun mengikuti metrum kinanthi, dan terjemahan. Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia yang dilakukan adalah terjemahan kata per kata dan hasil terjemahan disusun seperti teks yang telah mengalami perbaikan bacaan.

Kata kunci: macapat, kinanthi, Serat Rama

 

Pengantar

Kesusastraan Jawa juga mengenal bentuk prosa dan puisi seperti kesusastraan lainnya. Puisi Jawa dianggap lebih populer daripada prosa Jawa serta menduduki tempat terpenting (Saputra, 2001: 2). Puisi Jawa didefinisikan sebagai puisi yang ditulis dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa sendiri, masih menurut Saputra, dibagi menjadi tiga, yakni bahasa Jawa Kuna, Jawa Tengahan, dan bahasa Jawa Baru. Berdasarkan pengelompokan bahasa tersebut, bentuk pusi yang hadir dikelompokkan menjadi:

1. Puisi Jawa Kuna, yaitu kakawin.

2. Puisi Jawa Tengahan, yaitu kidung, dan

3. Puisi Jawa Baru dibedakan mejadi :

    a. Puisi yang bertembang meliputi, tembang macapat, tembang tengahan, dan

        tembang gedhe.

    b. Puisi yang tidak bertembang meliputi guritan, parikan, wangslan, dan singir.

Perbedaan antara puisi bertembang dengan puisi tidak bertembang terletak pada cara pembacaannya. Puisi bertembang dibaca berdasarkan susunan titilaras ‘notasi/nada’. Tembang-tembang yang termasuk kelompok pusi bertembang adalah macapat, tembang tengahan, dan tembag gedhe.

1. Tembang macapat asli meliputi dhandhanggula, asmaradana, sinom, durma,

     pangkur, mijil, kinanthi, maskumambang, dan pucung.

2. Tembang tengahan meliputi jurudemung, wirangrong, balabak, gambuh, dan

    megatruh.

3. Tembang gedhe, yaitu girisa.

Teks KR, bila dilihat dari nama pupuh yang digunakan, termasuk pada kelompok macapat asli. Oleh karena itu, penjelasan selanjutnya ditekankan pada jenis-jenis tembang yang termasuk kelompok macapat asli.

            Macapat diciptakan oleh para wali sebagai sarana menyebarkan Islam di Jawa setelah berakhirnya kekuasaan Majapahit. Macapat memunyai kedudukan penting dalam sejarah kesusatraan Jawa. Keunggulan tersebut disebabkan oleh: 1) Usia yang panjang karena masih digunakan sampai sekarang; 2) Banyaknya tulisan-tulisan yang dibingkai metrum macapat; 3) Setelah periode kakawin Jawa Kuna, macapat dianggap sebagai satu-satunya bentuk susastra; 4) Hampir semua orang Jawa mengenal macapat. Bahkan tradisi sastra di Madura, Sunda, Bali, dan Lombok juga mengenal macapat (Saputra, 2001: 104).

Masing-masing nama tembang macapat mempunyai pola persajakan atau metrum yang berbeda. Macapat mempunyai pola persajakan yang ketat karena berkaitan dengan cara melagukannya. Aturan dalam pola persajakan macapat meliputi guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Guru gatra mengacu pada jumlah baris dalam tiap bait, guru wilangan mengacu pada jumlah suku kata dalam tiap baris, dan guru lagu mengacu pada bunyi vokal terakhir dalam masing-masing baris.

 

Serat Rama 07.248 M

            Serat Rama merupakan salah satu judul naskah yang tersimpan di Museum Mpu Tantular Sidoarjo. Naskah Serat Rama hanya memuat satu buah teks, yaitu Serat Rama. Teks Serat Rama ditulis menggunakan aksara Jawa dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan adalah bahasa Jawa Baru disertai beberapa kosakata yang berasal dari bahasa Jawa Kuno. Serat Rama ditulis dalam media naskah yang berbahan dluwang kulit kayu. Teks ini berbentuk macapat. Metrum yang membingkai teks Serat Rama meliputi dhangdhanggula, pangkor, srinata, kasmaran, danagung, sekaring tyas, dan kinanthi.

Metrum dhangdhanggula sama dengan dhandhanggula. Penambahan bunyi /ng/ dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain dialek atau kesalahan dengar yang terjadi saat proses penyalinan. Pangkor sama dengan pangkur. Menurut Arps (1992:12), perubahan vokal /u/ dan /o/ serta /i/ dan /e/ lazim terjadi pada orang-orang Jawa yang tidak terbiasa menulis sehingga menganggap vokal-vokal tersebut adalah sama. Selain nama pangkor, dalam Serat Rama juga ditemukan nama metrum kawingkeng. Kawingkeng merupakan nama lain dari metrum pangkur. Baik pangkur maupun kawingkeng mempunyai makna bagian belakang.  Srinata merupakan nama lain tembang sinom. Hardjowirogo (1980:47—48) menulis beberapa nama lain untuk tembang sinom, yaitu anom, ron kamal, taruna, srinata, pangrawit, dan logondhang. Metrum berikutnya, kidanan, kasmaran, danagung, dan sekaring tyas merupakan nama lain asmaradana. Dalam Serat Rama, metrum kinanthi dituliskan menjadi kinanthih.

Metrum kinanthi meliputi guru gatra yang terdiri atas enam baris, guru wilangan berjumlah delapan pada masing-masing baris, dan guru lagu terdiri atas u, i, a, i, a, dan i sehingga dapat dituliskan menjadi 8u, 8i, 8a, 8i, 8a, dan 8i. Metrum Kinanthi mempunyai tema kemesraan sehingga banyak digunakan untuk menulis tembang tentang percintaan, nasihat, dan keriangan hati. Kinanthi digunakan sebanyak satu kali pada Serat Rama. Dalam satu pupuh (bab) kinanthi terdapat delapan belas bait. Metrum kinanthi tidak diterapkan pada Serat Rama. Mengacu pada hasil transliterasi, nampak bahwa jumlah baris dalam tiap bait terdiri atas lima, empat, tiga, dua, bahkan satu baris. Kekurangtepatan dalam penulisan jumlah baris berdampak pada jumlah suku kata dalam masing-masing baris sehingga perlu diadakan perbaikan jumlah baris dan suku kata pada masing-masing bait metrum kinanthi. Selain itu, bunyi vokal akhir pada masing-masing baris juga tidak seluruhnya tepat sehingga juga perlu diperbaiki. Perbaikan jumlah baris, suku kata, dan bunyi vokal terakhir pada masing-masing baris disajikan dalam bentuk tabel perbandingan. Penyajian seperti ini diharapkan dapat memudahkan pembaca untuk mengidentifikasi setiap perbaikan yang telah dilakukan. Selain menyajikan hasil perbaikan, tabel perbandingan ini juga menyajikan terjemahan dalam bahasa Indonesia dari masing-masing bait. Terjemahan yang dilakukan adalah terjemahan kata per kata dan disajikan per baris seperti bentuk teks yang telah mengalami perbaikan.

 

 


No.

Transliterasi Metrum Kinanthi dalam Serat Rama 07.248 M

Perbaikan Bacaan Metrum Kinanthi dalam Serat Rama 07.248 M

Terjemahan Metrum Kinanthi dalam Serat Rama 07.248 M

1.       

tan leŋŋĕnn ramma winuwus mraja daśamuḳa nĕŋgi manjiŋi …ṭa siniba,

iŋ paśowan para mantri rahwanna kenn aŋuṇdaŋa,

mantri maṇḍa yaksa sakti.

 

Tan lingen Rama winuwus,            

Raja Dasamuka nenggi,           

Manjing ing kutha sineba,            

Ing pasowan para mantri,            

Rahwana ken angundanga,           

Mantri Mandha yaksa sakti.

Tersebutlah, tidak dikatakan oleh Rama,

Raja Dasamuka menunggu,

Masuk ke dalam kota, dilayani,

Di tempat berkunjungnya para Menteri,

Rahwana minta untuk mengundang,

Menteri Mandha, raksasa sakti.

2.       

aran diyu maya tuḥu,

wiss wiŋ sulap daḥat pamre wus manḍĕk rahwanna nabda,

i diyu luŋaḥa haglis sadayyan tah lamunn ora katambin laksmanna mati.

 

Aran Diyu Maya tuhu,

Wis wong sulap dahat pamrih,

Wus mandheg Rahwana nabda,

I Diyu lungaha aglis,

Sadayan ta lamun ora,

Katamban Laksmana mati.

Sungguh-sungguh bernama Diyu Maya,

Orang selalu silau akan keuntungan,

Rahwana telah berhenti bersabda,

Segeralah Diyu pergi,

Jika seluruhnya tidak,

Diobati, Laksmana mati.

3.       

arupaḥah sira iku,

lwir rsi atapp iŋ marggi acaŋcaŋa hiŋ yujanna,

ŋuŋŋsiya denn ilĕss waŋ liŋ śampunni winĕkkas wĕkas kaŋ diyu maya tur bakti.

Arupaha sira iku,

Lwir resi ataping margi,

Acangcanga ing yujana,

Ngungsiya den iles wang ling,

Sampun i winekas-wekas,

Kang Diyu mayatur bakti.

Berubah wujudlah dia,

Seperti resi yang berbaris di jalan,

Akan mengikat pada tongkat pengukur jalan,

Orang berkata pergilah sebab terinjak,

Setelah berulang kali diberi pesan,

Oleh Diyu Maya yang menghaturkan bakti.

 

4.       

maŋkana śampun tĕkkeŋŋu pamara ppandann iŋ marggi iŋ talaga malah mala,

iyya jro tuyyannya puti kaŋ buta ndan salen rupa,

lwir rĕsṣi atapp iŋ bakti.

Mangkana sampun tekengu,

Pamara padha ning margi,

Ing talaga malah mala,

Iya jro tuyanya putih,

Kang buta ndan salin rupa,

Lwir resi ataping bakti.

 

Datang untuk memelihara hingga selesai,

Pada berdatangan ke jalan,

Sesampainya di telaga membersihkan diri,

Ke dalam air yang berwarna putih,

Kemudian raksasa berubah wujud,

Menjadi resi yang memberi hormat.

5.       

irika hanommann rawu,

amenta tuyyeŋ śaŋ rĕśe kaŋ jinnaluk nnaŋucap iki tatar ulle kaki gaṭwih amoŋŋ aŋiras ŋinumm iŋ talaga wari.

Irika Hanoman rawuh,

Aminta tuyeng sang resi,

Ikang jinaluk angucap,

Iki tatar uli kaki,

Gatha weh amung angiras,

Nginum ing talaga wari.

 

Kemudian Hanoman datang,

Meminta air pada sang resi,

Yang diminta berkata,

Tidak boleh pada laki-laki ini,

Lalu memberi wadah air,

Minum air di telaga.

6.       

yyan siryarśa ŋinom bañu,

lah mriŋŋa talaga kaki nomman wus maraŋ talaga,

lagyah añawokiŋ wari taṇdra naṭa baya pĕṭak agĕŋi kagiri giri.

Yan siryarsa nginum banyu,

Lah mringa talaga kaki,

Noman wus mareng talaga,

Lagya anyawuking wari,

Tandra nata baya pethak,

Ageng ika giri-giri.

 

Wajahnya condong ketika minum air,

Lah, laki-laki di telaga,

Hanoman telah tiba ke telaga,

Baru saja menciduk air dengan tangan,

Kemudian raja buaya putih,

Yang besar itu tergesa-gesa.

7.       

anarap saŋ nomman ṣampun kula maŋke sapu aŋin yann iŋ jro gĕrba buwana,

marutsuta tan wreŋ gati ndan ŋrok gĕrbajol kaŋ bĕḍḍa,

murkaŋ waŋke tatur kaksi.

Anarap sang Noman sampun,

Kula mangke sapu angin,

Yan ing jro gerba buwana,

Marutsuta tan wreng gati,

Ndan ngruk[1][MWS5]  garbajul[2] kang bedhah,

Mor kang wangke tatu kaksi.

 

Sang Hanoman telah berbaris berderet,

Aku Sapu angin,

Jika di dalam perut bumi,

Marutsuta tidak benar-benar takut,

Kemudian mengorek perut buaya yang sobek,

Dijadikan satu dengan bangkai yang nampak luka-luka.

 

8.       

pjahhi śaŋ bajul nĕŋgu,

dadya istri ayu lĕwire… nomman ṣapa sira,

sahornnya ŋwaŋ widadyari kĕnniŋ satya,

iŋ hyaŋ ŋindra,

mila dadya bajul puti.

Pejahe sang bajul nenggu,

Dadya istri ayu lwire,

… Noman sapa sira,

Saurnya ngwang widadyari,

Keneng satya ing Hyang Indra,

Mila dadya bajul putih.

 

Menunggu kematian sang buaya,

Seperti menjadi wanita cantik,

Hanoman menyumpahinya,

Seorang bidadari menjawab,

Ketulusan Dewa Indra sampai padanya,

Sehingga jadilah buaya putih.

9.       

yyeŋsun ṣakiŋ swarggiŋ daŋu,

aŋruśak swargga dewadi yyeki margganni dinakan dadya buwayanniŋ reki jro talaga malah mala,

milweŋŋ waŋŋ ajri kapati.

Yengsun saking swargi ng dangu,

Angrusak swarga dewadi,

Yeki margani dinakan,

Dadya buwaya ning reki,

Jro talaga mala-mala,

Milweng ngwang ajrih kapati.

 

Ya, aku lama berada di surga,

Merusak surga dewata yang indah,

Ya, inilah sebabnya siang hari,

Dia menjadi buaya,

Bahkan dalam telaga yang kotor,

Orang yang ikut takut terbunuh.

10.   

pann age ruwatĕnn iŋsun sira tkeŋ talageki tuḥwa yan kaŋ tan won pjah kabe paḍa den patinni wetniŋ age aruwatta,

pan lawas kamalan mammi.

 

Pan age ruwaten ingsun,

Sira tekeng talageki,

Tuhwa yan kang tan won pejah,

Kabeh padha den patina,

Wit ning age angruwata,

Pan lawas kamalan mami.

 

Segera bebaskan aku,

Dia datang dari telaga ini,

Jika benar-benar tidak mati,

Maka bunuhlah semua,

Mulailah segera, membebaskan,

Amalan untuk selamanya.

11.   

adaŋuh maŋke anĕŋgu,

matyanni kamalan mami kaŋ aŋrowattiŋ patala,

akaryya waluya mammi kaṭa maŋke utaŋŋiŋ ŋwaŋ,

si hanommann anak mami.

Adangu mangke anenggu,

Matyani kamalan mami,

Kang angruwat ing patala,

Akarya waluya mami,

Kathah mangke utang ing ngwang,

Si Hanoman anak mami.

 

Nantinya lama menunggu,

Menyudahi amalanku,

Yang membebaskan di perut bumi,

Aku kembali pulih dan bekerja,

Banyak berhutang pada orang,

Si Hanoman anakku.

12.   

lah patinnana karuḥun kaŋ diyu awarna rĕśe maŋke iŋoŋ aŋantiya,

kaŋ kenin tandra ŋastuti sakĕḍḍap tandra pan dandan maligi tuṇḍa saptaddi.

Sang Pawanasuta matur,

Sampun pinahosan malih,

Pan dasi dados lantaran,

Sadaya reh saking Widi,

Balika yan awi losa,

Tan dangumbata ing mangke.

 

Sang Pawanasuta berkata,

Telah dihias kembali,

Karena pelayanlah yang menyebabkan,

Semua keadaan berasal dari Tuhan,

Silakan kembali jika akan pergi,

Tidak butuh waktu lama untuk menembok.

13.   

śaŋ widadyari aluŋgu,

aning maliŋgih tuṇḍas sri,

saŋ anomman taṇdra keśa,

maraŋ śaŋŋ amiṇḍa rĕsṣi tka luŋgwiŋ bali aṇḍap campakah basa jiwarṇni.

 

Sang widadyari amuwus,

Apwa[3] sira walang ati,

Mangsing[4] ngwang tan wreng sikara,

Mapan ka Alengka wruhi,

Sare sang Rama Laksmana,

Kang aprang tan samar mami.

 

Sang bidadari berkata,

Mempesilakan, dia khawatir,

Mustahil menganiaya orang yang tidak takut,

 Diketahui bersiap ke Alengka,

Tidurlah sang Rama Laksmana,

Aku tidak merahasiakan peperangan.

14.   

lah patinnana karuḥun kaŋ diyu awarna rĕśe maŋke iŋoŋ aŋantiya,

kaŋ kenin tandra ŋastuti sakĕḍḍap tandra pan dandan maligi tuṇḍa saptaddi.

 

Lah patinana karuhun,

Kang Diyu awarna resi,

Mangke ingong angantiya,

Kang kenen tandra ngastuti,

Sakedhap tandra pan dandan,

Malige tundha saptadi.

 

Lah bunuhlah dulu,

Resi yang menyerupai Diyu,

Saya akan menunggu nanti,

Yang diperintah segera menyembah,

Sekejap kemudian menghias,

Mahligai tujuh tingkat yang indah.

15.   

śaŋ widadyari aluŋgu,

aning maliŋgih tuṇḍas sri,

saŋ anomman taṇdra keśa,

maraŋ śaŋŋ amiṇḍa rĕsṣi tka luŋgwiŋ bali aṇḍap campakah basa jiwarṇni.

 

Sang widadyari alungguh,

Aneng malinge tunda sri,

Sang Hanoman tandra kesah,

Marang sang amindha resi,

Teka lunggwing bali andhap,

Campaka basaji[5] warni.

 

Sang bidadari duduk,

Di singgasana bertingkat milik raja,

Sang Hanoman segera pergi,

Menemui Resi Amindha,

Datang, duduk di bawah kemudian kembali,

Menyajikan beragam bahasa dan cempaka.

16.   

śaŋ diyu rĕssi kadulu,

saŋ anomman deṇ caranni leŋŋ ikaki mariniya,

aliŋgiya sanḍiŋ mammi,

sapwaŋin mara arupa kadya woŋŋ arĕp ambakti.

 

Sang Diyu resi kadulu,

Sang Hanoman den carani[6],

Ling ikaki mariniya,

Alinggiha sandhing mami,

Sapwangin mara arupa,

Kadya wong arep ambakti.

 

Sang resi terlihat seperti Diyu,

Sebab sang Hanoman mengintai,

Laki-laki tua berkata akan datang,

Duduklah di sampingku,

Sapwangin datang dalam wujud,

Seperti orang memberi hormat.

17.   

tandra śaŋ rsi den pĕluk kaŋ cinĕkkĕllan pan dadi danawa ruśa sakala nomman pann aguŋ awake kaŋ buta binantiŋ śigra wus rĕmmĕk rata lan bumi.

 

Tandra sang resi den peluk,

Kang cinekelan pan dadi,

Danawa rusa sakala,

Noman pan agung awake,

Kang buta binanting sigra,

Wus remek rata lan bumi.

 

Segera sang resi memeluk,

Yang dipegangnya menjadi,

Rusa raksasa semuanya,

Hanoman yang besar badannya,

Raksasa segera dibantingnya,

Kemudian hancur rata dengan bumi.

18.   

sapjahe buta wa…pul nomman maraŋ widadyari amintah tinaṇḍaŋ mĕrta,

reh śaŋ lĕksmana akanin apan pranna curnan nira,

yan sisippah tmah mati.

 

Sapjahe buta wa…pul,

Noman marang widadyari,

Aminta tinandhang merta,

Reh sang Laksmana akanin,

Apan prana curna nira,

Yan sisipa temah mati.

 

Setelah kematian raksasa…,

Hanoman mendatangi bidadari,

Meminta mengirim kabar,

Sang laksmana memerintah,

Sebab kehidupannya rusak,

Jika salah akan mati.

 

            Pada bait satu, terdapat tanda titik yang digunakan untuk menuliskan teks yang tidak terbaca karena naskah rusak. Pada perbaikan teks bait satu, suku kata yang hilang dapat diidentifikasi dengan melihat konteks kalimatnya, yaitu kata kutha ‘kota, tempat yang dikelilingi tembok’. Perbaikan pada bunyi vokal terakhir pada suatu baris dapat dijumpai pada bait dua. Kata pamre diubah menjadi pamrih untuk mengikuti aturan guru lagu pada baris kedua metrum kinanthi, yaitu /i/.

 

Kesimpulan[MWS6] 

            Perbaikan metrum kinanthi pada Serat Rama meliputi jumlah baris, jumlah suku kata tiap baris, dan bunyi vokal terakhir pada masing-masing baris. Dalam menyajikan bentuk teks yang sesuai dengan metrum kinanthi, dilakukan penghitungan suku kata untuk masing-masing baris. Perbaikan yang paling sedikit dilakukan adalah perbaikan pada bunyi vokal terakhir pada suatu baris. Ditemukan hanya satu bunyi vokal terakhir yang perlu diperbaiki, yaitu kata pamre menjadi pamrih.

 


Daftar Pustaka[MWS7] 

 

Arps, Bernard. 1992. Tembang in Two Traditions: Performance and Interpretation of Javanese

Literature. London: School of Oriental and African Studies (University of London).

 

Hardjowirogo, R. 1980. Pathokaning Nyekaraken. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

 

Prawiroatmojo, S. 1981. Bausastra Jawa-Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.

 

Saputra, Karsono H. 2001a. Puisi Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sarana.

 

________________. 2001b. Sekar Macapat. Jakarta: Wedatama Widya Sarana.

 

Sari, Mardhayu Wulan. 2015. Repertoire dalam Serat Rama: Suntingan Teks, Terjemahan, dan

Kajian Respon Estetik Wolfgang Iser. Tesis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

 



[1] Kata ngruk berasal dari ngeruk.

[2] Kata garbajul berasal dari garbha dan bajul

[3] Kata apwa seharusnya apuwa ‘mempersilakan’. Hilangnya satu suku kata karena mengikuti aturan metrum.

[4] Kata mangsing berasal dari mangsi + ing

[5] Basaji berasal dari kata basa dan saji.

[6] Akhiran -i digunakan untuk mengikuti aturan metrum.


 [MWS1]Judul merupakan gambaran dari keseluruhan artikel. Judul ditulis menggunakan jenis kata benda. Judul memuat informasi tentang objek, masalah yang mengarah pada teori yang digunakan dan metode. Pada contoh, objeknya adalah Serat Rama. Permasalahan yang diangkat adalah struktur metrum kinanthi sehingga teori yang digunakan adalah teori struktur tembang macapat untuk metrum kinanthi.

 [MWS2]Abstrak berisi ringkasan tulisan yang dibuat. Hal-hal yang perlu dituliskan dalam abstrak adalah objek tulisan/penelitian, rumusan masalah, tujuan penulisan/penelitian, metode, landasan teori, dan kesimpulan.

 

Penulisan abstrak harus disertai kata kunci. Yang dimaksud dengan kata kunci adalah kata yang penggunaannya sering/ kemunculannya sering dalam sebuaah tulisan. Kata kunci yang dituliskan dapat berjumlah tiga, lima, atau tujuh.

 

Pada contoh artikel ini, abstrak ditulis dalam 140 kata. Namun, standar penulisan abstrak yang sering dijumpai berjumlah 200—300 kata.

Pada dasarnya penulisan artikel ilmiah dan makalah tidak berbeda. Perbedaan hanya terdapat pada sistematika penyajiannya. Jika membaca sebuah artikel, Anda dapat dengan mudah mengidentifikasi bagian-bagian dari artikel tersebut, manakah yang termasuk pendahuluan, isi, dan penutup.

 

Pada bab Pengantar, isinya meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan, metode, dan teori yang digunakan. Paragraf ditulis dari hal yang bersifat umum ke khusus. Yang dimaksud hal khusus adalah hal-hal yang berhubungan dengan objek tulisan/penelitian.

 [

KATALOG MENU BALITA

  KATALOG A.       Nasi -Nasi merah -Nasi tim - Nasi tim beras merah - Bubur nasi B.       Ayam -Bola-bola ayam kuah -Siomay...