Monday, November 30, 2020

ANEMIA GIZI BESI - SURVEILANS GIZI

 BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Gizi merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pembangunan, yang dapat memberikan konstribusi dalam mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas sehingga mampu berperan secara optimal dalam pembangunan (Yayuk Farida, dkk, 2004:4). Kecukupan gizi sangat diperlukan oleh setiap individu, sejak janin yang masih dalam kandungan, bayi, anak-anak, remaja, dewasa sampai usia lanjut. Ibu atau calon ibu merupakan kelompok rawan sehingga harus dijaga status gizi dan kesehatannya (Depkes RI, 2003:1).

Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat secara global yang memengaruhi 1,62 milyar penduduk dunia (WHO, 2008). Menurut Stoltzfus dalam Anand (2013), jumlah penduduk terbesar yang mengalami anemia adalah wanita yang tidak hamil yaitu 468,4 juta jiwa. Menurut World Health Organization (WHO), anemia pada wanita prahamil adalah kadar hemoglobin kurang dari 12 gr/dl. Sejauh ini, anemia defisiensi besi merupakan penyebab umum kejadian anemia. Hal ini merugikan karena dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas (Kotwal, 2016).

Anemia dapat terjadi akibat kekurangan zat gizi yang memiliki peran membentuk hemoglobin seperti zat besi, protein, piridoksin, vitamin B12, vitamin C, asam folat, dan vitamin E. Vitamin C berperan dalam absorbsi dan pelepasan zat besi dari transferin ke jaringan. Asam folat berfungsi dalam metabolisme asam amino yang dibutuhkan saat pembentukan sel darah merah dan sel darah putih. Vitamin B12 berfungsi untuk mengaktifkan asam folat, sedangkan vitamin E untuk stabilisasi sel (Setyawati dan Syauqy, 2014).

Protein merupakan sumber gizi yang sangat dibutuhkan bagi semua sel. Strukturnya yang terdiri dari asam amino berfungsi untuk menunjang keberadaan setiap sel tubuh serta memperkuat sistem imun manusia. Protein berguna untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh. Semua makanan yang berasal dari hewan dan tumbuhan mengandung protein (Putra, 2013). Seperlima bagian tubuh tersusun atas protein, sebagian dari jumlah tersebut berada pada otot, seperlima pada tulang dan tulang rawan, sepersepuluh berada pada kulit, sisanya berada pada jaringan lain dan cairan tubuh. Semua enzim, hormon, pengangkut zat-zat gizi dan darah, serta matriks intraseluler merupakan protein (Almatsier, 2010).

Zat besi merupakan mineral mikro yang paling banyak pada tubuh. Besi memiliki fungsi untuk mengangkut oksigen, mengangkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian dari reaksi enzim di dalam jaringan (Almatsier, 2010). Penyerapan besi dipengaruhi oleh banyak faktor. Contohnya protein hewani dan vitamin C mampu meningkatkan penyerapan, sedangkan kopi, teh, garam, kalsium, magnesium dapat mengikat besi sehingga proses penyerapannya berkurang (Arisman, 2010). Protein, zat besi dan piridoksin berfungsi sebagai katalisator sintesis heme. Protein berperan dalam menangkut zat besi untuk dijadikan hemoglobin baru di sumsum tulang (Setyawati dan Syauqy, 2014). Proporsi anemia pada perempuan tidak hamil umur ≥ 15 tahun adalah 22,7%. Keadaan ini merupakan akibat dari asupan zat gizi besi dari makanan yang baru memenuhi 40% dari kecukupan. Hal tersebut berlanjut mengakibatkan anemia pada ibu hamil dengan prevalensi sebesar 37,1% (Riskesdas, 2013). 

B.   Rumusan Masalah

1.    Bagaimana masalah anemia gizi besi yang terjadi di Indonesia pada saat ini?

2.    Bagaimana skala prioritas masalah anemia gizi besi di Indonesia?

3.    Bagaimana intervensi gizi yang dilakukan untuk penderita anemia gizi besi?

4.    Bagaimana implementasi program gizi terutama masalah anemia gizi besi pada masyarakat?

 

C.   Tujuan Masalah

1.    Mengetahui masalah anemia gizi besi yang terjadi di Indonesia pada saat ini.

2.    Mengidentifikasi faktor penyebab masalah anemia gizi besi.

3.    Mengidentifikasi besar masalah anemia gizi besi yang terjadi di Indonesia.

4.    Mengidentifikasi dampak masalah anemia gizi besi.

5.    Menganalisis skala prioritas masalah anemia gizi besi di Indonesia.

6.    Menganalisa intervensi gizi yang dilakukan untuk penderita anemia gizi besi.

7.    Mengidentifikasi implementasi program gizi terutama masalah anemia gizi besi pada masyarakat.

BAB II

PEMBAHASAN

A.   Anemia

1.    Definisi Anemia

Anemia adalah berkurangnya sel darah merah, kuantitas hemoglobin dan volume hematokrit sampai dibawah nilai normal per 100 ml darah (Price,2007). Menurut Supandiman (1997) anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin menurun sehingga tubuh akan mengalami hipoksia sebagai akibat kemampuan kapasitas pengangkutan oksigen dari darah berkurang. Nilai batas penentu kategori anemia berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin seperti terlihat pada tabel 1.

Tabel 1. Nilai batas penentu kategori anemia berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin

Kelompok

Umur

Hemoglobin

(g/dl)

Anak

6-59 bulan

11,0

 

5-11 tahun

11,5

 

12-14 tahun

12,0

Dewasa

Wanita (>15 tahun)

12,0

 

Wanita hamil

11,0

 

Laki-laki (>15 tahun)

13,0

Sumber : WHO (2001) dalam ( Hamid, 2002)

2.    Anemia Gizi

Anemia gizi adalah ketika keadaan kadar hemoglobin, hemotokrit dan sel darah merah lebih besar dari nilai normal, sebagai akibat dari defisiensi salah satu atau beberapa unsur makanan yang esensial yang dapat mempengaruhi timbulnya defisiensi tersebut. Anemia gizi disebabkan oleh defisiensi Fe, asam folat dan atau vitamin B12 yang kesemuanya berakar pada asupan yang tidak cukup, ketersediaan hayati rendah dan kondisi kecacingan yang masih tinggi (Arisman,2004). Di Indonesia sebagian anemia ini karena kekurangan zat besi (Fe) sehingga disebut anemia gizi besi (Depkes,1997).

3.    Anemia Gizi Besi

Anemia gizi besi merupakan kelainan gizi yang paling sering ditemukan didunia dan menjadi masalah kesehatan masyarakat yang bersifat epidemik. Sebelum terjadinya anemia gizi besi biasanya akan terjadi defisiensi zat besi yaitu berkurangnya cadangan zat besi dalam tubuh.

Menurut Gibney (2009) defisiensi zat besi dapat dipilah menjadi tiga tahap dengan derajat keparahan dan berkisar dari ringan hingga berat,yaitu :

1.      Tahap pertama meliputi berkurangnya simpanan zat besi yang ditandai berdasarkan penurunan kadar feritin serum. Meskipun tidak disertai konsekuensi fisiologis yang buruk, namun keadaan ini menggambarkan adanya peningkatan kerentanan dari keseimbangan besi yang marjinal untuk jangka waktu lama sehingga dapat terjadi defisiensi zat besi yang berat.

2.      Tahap kedua ditandai oleh perubahan biokimia yang mencerminkan kurangnya zat besi bagi produksi hemoglobin yang normal. Pada keadaan ini terjadi penurunan kejenuhan transferin eritrosit, dan peningkatan jumlah reseptor transferin serum.

3.      Tahap ketiga defisiensi zat besi berupa anemia. Pada anemia karena  defisiensi zat besi yang berat, kadar hemoglobinya kurang dari 7 gr/dl.


B.   Faktor Penyebab Anemia

1.    Simpanan zat besi yang buruk

      Simpanan zat besi dalam tubuh orang Asia memiliki jumlah yang tidak besar, terbukti dari rendahnya kadar hemosiderin dalam sumsum tulang dan rendahnya simpanan zat besi di dalam hati (Gibney ,2009).

 

2.    Ketidak cukupan gizi

Penyebab utama anemia karena defisiensi zat besi, adalah konsumsi gizi yang tidak memadai. Banyak orang tergantung hanya pada makanan nabati yang memiliki absorpsi zat besi yang buruk dan terdapat beberapa zat dalam makanan tersebut yang mempengaruhi absorpsi besi. Waterbury (2002) menyatakan anemia karena kekurangan zat besi dalam makanan pada bayi dan orang dewasa karena pertumbuhan melebihi suplai dalam makanan. Di beberapa negara pada orang dewasa juga sering terjadi anemia karena kurangnya zat besi dalam makanan. Malnutrisi terutama di negara berkembang merupakan penyebab anemia gizi besi (Silbernagl, 2000). Menurut Husaini 1989 dalam (Amrihati 2002) anemia gizi besi disebabkan pertama karena jumlah zat besi dalam makanan tidak cukup karena ketersediaan zat besi dalam bahan makanan rendah, praktek pemberian makan kurang baik dan sosial ekonomi rendah. Kedua absorbsi zat besi yang rendah karena komposisi makanan kurang beragam dan terdapat zat penghambat absorbsi zat besi. Ketiga kebutuhan yang meningkat karena pertumbuhan fisik, kehamilan dan menyusui dan keempat kehilangan darah karena perdarahan kronis, parasit, infeksi dan pelayanan kesehatan rendah.  Pada   penelitian   Miller   dkk   (2009)   dalam  

American   Nutritional Jurnal menyatakan anak usia 12-15 tahun dengan kerawanan pangan (food insecure) di rumah  tangga  kemungkinan  2,95  kali  menjadi  anemia  gizi  besi dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki ketahanan pangan di rumah tangga. Kerawanan pangan disebabkan karena konsumsi makan yang kurang, melewatkan waktu makan dan tidak makan seharian, sehingga asupan nutrisi rendah termasuk zat besi

3.    Peningkatan Kebutuhan.

Gibney (2009) mengungkapkan terdapat peningkatan kebutuhan zat besi selama kehamilan dan menyusui. Pertumbuhan yang cepat selama masa bayi dan kanak-kanak meningkatkan pula kebutuhan zat besi. Kebutuhan zat besi, juga mengalami peningkatan kebutuhan yang cukup besar selama pubertas, pada remaja putri, awal menstruasi memberikan beban ganda.

4.    Malabsorbsi dan Peningkatan Kehilangan

Diare yang berulang akibat kebiasaan kebiasaan yang tidak higienis dapat mengakibatkan malabsorbsi. Insidens diare yang cukup tinggi, terjadi terutama pada kebanyakan negara berkembang. Infestasi cacing, khususnya cacing tambang dan askaris, menyebabkan kehilangan zat besi dan malabsorbsi zat besi. Di daerah endemik malaria yang berulang dapat menimbulkan anemia karena defisiensi zat besi. Pada wanita, perdarahan pascapartum akibat perawatan obstetrik yang buruk, kehamilan yang berkali-kali dengan jarak antar kehamilan yang pendek, periode laktasi yang panjang, dan penggunaan IUD untuk keluarga berencana merupakan kontributor penting Gibney (2009). Silbernagl (2000) menyatakan malabsorbsi bisa dikarenakan kurangnya asam klorida di pencernaan, penyakit di usus kecil, dan karena adanya komponen makanan penghambat penyerapan zat besi seperti phitat, tannin , oksalat dan lain-lain

5.    Infeksi

Kemiskinan dan keadaan sanitasi lingkungan yang buruk dan pelayanan kesehatan yang tidak adekuat akan meningkatkan kejadian infeksi. Penyakit infeksi seperti infeksi saluran pernafasan, diare, malaria TB, HIV/AIDS dan penyakit infeksi lainnya dapat mempengaruhi metabolisme zat besi. Peradangan saat terkena infeksi direspon oleh tubuh dengan meningkatkan sirkulasi hepeidin. Hepeidin akan mencegah penyerapan zat besi, menurunkan metabolisme zat besi, menurunkan erythropoesis dan menurunkan plasma retinol sehingga akan menyebabkan anemia Kraemer (2007).

 

C.   Situasi dan Dampak Anemia

Anemia adalah penyebab kedua terkemuka didunia dari kecacatan dan dengan demikian salah satu masalah kesehatan masyarakat paling serius global (WHO, 2014). Menurut WHO 2013, 30% atau sekitar 2 miliar penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari 50% merupakan anemia defiseinsi besi. Salah satu yang termasuk dalam golongan rawan anemia adalah remaja putri. Jumlah penduduk usia remaja (10-19 tahun) di Indonesia sebesar 26,2% yang terdiri dari 50,9% laki-laki dan 49,1% perempuan (Kemenkes RI, 2013).

Depkes (2011) menyatakan prevalensi anemia di indonesia cukup tinggi pada remaja putri, yaitu 26.5%. Berdasarkan data Depkes RI (2012) prevalensi anemia defisiensi besi di Indonesia pada balita sebesar 40,5%, ibu hamil sebesar 50,5%, ibu nifas sebesar 45,1%, remaja putri usia 10-18 tahun sebesar 57,1%, dan pada Wanita Usia Subur (WUS) usia 19-45 tahun sebesar 39,5%. Berdasarkan kelompok usia tersebut yang memiliki risiko paling besar menderita anemia adalah remaja putri usia 10-18 tahun.

Pada tahun 2013, Riskesdas menyebutkan bahwa  prevalensi nasional anemia sebesar 21.7%. Untuk daerah perkotaan sebesar 20.6% dan 22.8% pada pedesaan. Berdasarkan jenis kelamin, 23.9% perempuan dan 18.4% laki-laki mengalami anemia, sedang menurut kelompok umur, 5-14 tahun sebesar 26.4% da, 15-24 tahun sebesar 18.4%.

Prevalensi anemia pada remaja putri di Indonesia dari tahun 2011 menuju tahun 2013 mengalami penurunan, kemudian meningkat kembali pada tahun 2014. Hal ini menunjukkan walaupun terdapat penurunan pada tahun 2013, tetapi kejadian anemia pada remaja putri masih terus terjadi dan masih berada di bawah target yang ditentukan oleh pemerintah. Untuk menanggapi kejadian anemia yang masih terus terjadi, perlu dilakukan upaya inetervensi atau pencegahan untuk mencegah peningkatan kejadian anemia pada remaja putri.

Anemia pada remaja putri dapat menyebabkan cepat lelah, konsentrasi belejar menurun, sehingga prestasi belajar rendah dan dapat menurunkan produktivitas kerja. Anemia juga menurunkan daya tahan tubuh, sehingga mudah terkena infeksi (Arisman, 2010). Selain itu, anemia dapat menurunkan kebugaran remaja, serta meningkatkan resiko terjadinya gangguan kehamilan pada saat dewasa (Veni, 2004).

  1. Skala Prioritas Masalah

Untuk menanggulangi atau mengendalikan keadaan kurang gizi, maka Anda akan sangat tergantung pada informasi mengenai status gizi penduduk. Informasi tersebut diberikan oleh indikator status gizi, yang menjadi ciri khas, seperti masalah masalah gizi buruk. Indikator ini kemudian harus Anda kaitkan dengan karakteristik individu, waktu dan lokasi, untuk mendapatkan indikasi distribusi masalah dalam populasi dan gambaran situasi secara keseluruhan. Hal lain yang harus Anda pelajari adalah sewaktu menentukan prioritas untuk situasi gizi, Anda harus mengajukan pertanyaan sebagai berikut

1.    Apa jenis kekurangan gizi (misalnya kekurangan gizi, kekurangan gizi, kekurangan zat gizi mikro, tingkat keparahan, dll)?

2.    Siapa yang menderita kekurangan gizi (misalnya usia, jenis kelamin, tempat tinggal, dll)?

3.    Di mana orang-orang yang kekurangan gizi ini (misalnya zona atau wilayah administratif yang paling berisiko, distrik, daerah, dll)?

4.    Kapan hal itu terjadi (misalnya sementara, musiman atau tahunan; berulang atau tidak, kronis)?

5.    Sifat masalah (misalnya keadaan darurat atau "situasi normal")?

Analisis data situasi gizi dapat berupa analisis dekriptif dan analisis analitik. Analisis deskriptif ditujukan untuk memberi gambaran umum tentang data cakupan kegiatan pembinaan gizi masyarakat. Dengan analisis deskriptif kita dapat menentukan daerah prioritas untuk melakukan pembinaan wilayah dan menentukan kecenderungan antar waktu.

a.    Menetapkan Daerah Prioritas untuk Pembinaan Wilayah

Analisis deskriptif dilakukan untuk membandingkan antar wilayah dilakukan dengan membandingkan hasil cakupan antar wilayah dengan target yang harus dicapai. Wilayah yang cakupannya masih rendah harus mendapat prioritas untuk dibina.

b.    Membandingkan Kecenderungan antar Waktu

Analisis deskriptif juga dapat digunakan untuk melihat kecenderungan antar waktu di suatu daerah dengan membandingkan hasil cakupan dalam satu periode waktu tertentu dengan target yang harus dicapai.

Analisis analitik dimaksudkan untuk memberi gambaran hubungan antar dua atau lebih indikator yang saling terkait, baik antar indikator gizi maupun antar indikator gizi dengan indikator program terkait lainnya. Tujuan analisis analitik bertujuan antara lain untuk menentukan upaya yang harus dilakukan jika terdapat kesenjangan cakupan antar dua indicator

Ada beberapa metoda yang dapat digunakan untuk menentukan prioritas masalah kesehatan yaitu (1) Metoda Matematik (2) Metoda Delbeque (3) Metoda Delphi dan (4) Metoda estimasi beban kerugianakibat sakit (diseaseburden)

·         Metoda Matematika

Metoda ini dikenal juga sebagai metoda PAHO yaitu singkatan dari Pan American Health Organization,karenadigunakandandikembangkan di wilayah Amerika Latin. Dalam metoda ini dipergunakan beberapa kriteria untuk menentukan prioritas masalah kesehatan disuatu wilayah berdasarkan: (a) Luasnya masalah (magnitude) (b) Beratnya kemgian yang timbul (Severity) (c) Tersedianya sumberdaya untuk mengatasi masalah kesehatan tersebut ( Vulnerability (d) Kepedulian/dukungan politis dan dukungan masyarakat (Community andpolitical concern) (e) Ketersediaandata(Affordability)

·         Metoda Delbeque dan Delphi Metoda Delbeque

adalah metoda kualitatif dimana prioritas masalah penyakit ditentukan secara kualitatif oleh panel expert. Caranya sekelompok pakar diberi informasi tentang masalah penyakit yang perlu ditetapkan prioritasnya termasuk data kuantitatif yang ada untuk masing-masing penyakit tersebut.

·         Metoda Estimasi Bebari Kerugian (Disease Burden)

Metoda Estimasi Beban Kerugian dari segi teknik perhitungannya lebih canggih dan sulit, karena memerlukan data dan perhitungan hari produktif yang hilang yang disebabkan oleh masing-masing masalah. Sejauh ini metoda ini jarang dilakukan di tingkat kabupaten atau kota di era desentralisasi programkesehatan. Bahkanditingkat nasionalpun baru Kementrian Kesehatan dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan yang mencoba menghitung berapa banyak Kerugian yang ditimbulkan dalam kehidupan tahunan penduduk

·         Metoda Perbandingan antara Target dan Pencapaian Program Tahunan

Metoda penetapan prioritas masalah kesehatan beradasarkan pencapaian program tahunan yang dilakukan adalah dengan membandingkan antara target yang ditetapkan dari setiap program dengan hasil pencapaian dalam suatu kurun waktu 1 tahun. Penetapan prioritas masalah kesehatan seperti ini sering digunakan oleh pemegang atau pelaksana program kesehatan di tingkat Puskesmas dan Tingkat Kabupaten/Kota pada era desentralisasi saat ini.

E.    Implementasi Tahap Surveilans

1.    Cara Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data penyakit anemia biasanya digunakan metode kuisioner. Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal – hal yang diketahui (Sugiyono, 2009). Kuesioner dipakai untuk menyebutkan metode maupun instrumen. Jadi dalam menggunakan metode angket atau kuesioner instrumen yang dipakai adalah angket atau kuesioner.

Angket atau kuesioner merupakan suatu teknik pengumpulan data secara tidak langsung (peneliti tidak langsung bertanya jawab dengan responden). Instrumen atau alat pengumpulan datanya juga disebut angket berisi sejumlah pertanyaan – pertanyaan yang harus dijawab atau direspon oleh responden. Responden mempunyai kebiasaan untuk memberikan jawaban atau respon sesuai dengan presepsinya. Kuesioner merupakan metode penelitian yang harus dijawab responden untuk menyatakan pandangannya terhadap suatu persoalan. Sebaiknya pertanyaan dibuat dengan bahasa sederhana yang mudah dimengerti dan kalimat-kalimat pendek dengan maksud yang jelas. Penggunaan kuesioner sebagai metode pengumpulan data terdapat beberapa keuntungan, diantaranya adalah pertanyaan yang akan diajukan pada responden dapat distandarkan, responden dapat menjawab kuesioner pada waktu luangnya, pertanyaan yang diajukan dapat dipikirkan terlebih dahulu sehingga jawabannya dapat dipercaya dibandingkan dengan jawaban secara lisan, serta pertanyaan yang diajukan akan lebih tepat dan seragam.

2.    Diseminasi Informasi

Diseminasi informasi dilakukan untuk menyebarluaskan informasi surveilans gizi kepada pemangku kepentingan. Kegiatan diseminasi informasi dapat dilakukan dalam bentuk pemberian umpan balik, sosialisasi atau advokasi.

-Umpan balik merupakan respon tertulis mengenai informasi surveilans gizi yang dikirimkan kepada pemangku kepentingan pada berbagai kesempatan baik pertemuan lintas program maupun lintas sektor.

-Sosialisasi merupakan penyajian hasil surveilans gizi dalam forum koordinasi atau forum-forum lainnya.

-advokasi merupakan penyajian hasil surveilans gizi dengan harapan memperoleh dukungan dari pemangku kepentingan.

Pemanfaatan Informasi Hasil Surveilans Gizi

Hasil surveilans gizi dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan sebagai tindak lanjut atau respon terhadap informasi yang diperoleh. Tindak lanjut atau respon dapat berupa tindakan segera, perencanaan jangka pendek, menengah dan panjang serta perumusan kebijakan pembinaan gizi masyarakat baik di kabupaten/kota, provinsi dan pusat.

Contoh tindak lanjut atau respon yang perlu dilakukan terhadap pencapaian indikator Jika hasil analisis menunjukkan cakupan defisiensi vitamin A  maka respon yang harus dilakukan adalah:

a.    Bila ketersediaan kapsul vitamin A di puskesmas tidak mencukupi maka perlu mengirim kapsul vitamin A ke puskesmas.

b.    Bila kapsul vitamin A masih tersedia, maka perlu meminta Puskesmas untuk melakukan sweeping.

c.    Melakukan pembinaan kepada puskesmas dengan cakupan rendah.

 

Mekanisme Alur Pelaporan

Mekanisme dan alur pelaporan, umpan balik serta koordinasi pelaksanaan surveilans gizi digambarkan sebagai berikut:

Penjelasan Alur Pelaporan dan Umpan Balik serta Koordinasi:

  1. Laporan kegiatan surveilans dilaporkan secara berjenjang sesuai sumber data (bisa mulai dari Posyandu atau dari Puskesmas)
  2. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Dinas Kesehatan Provinsi berkoordinasi dengan Rumah Sakit (RS)2 Pusat/Provinsi/Kabupaten/ Kota tentang data terkait, seperti data kasus gizi buruk yang mendapat perawatan.
  3. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengirimkan rekapitulasi laporan dari Puskesmas (Kecamatan) dan dari RS Kabupaten/Kota ke Dinas Kesehatan Provinsi dan Direktorat Bina Gizi, Ditjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Kementerian Kesehatan RI, sesuai dengan frekuensi pelaporan.
  4. Umpan balik hasil kegiatan surveilans disampaikan secara berjenjang dari Pusat ke Provinsi setiap 3 bulan atau setiap saat bila terjadi perubahan kinerja, dari Provinsi ke Kabupaten/Kota dan dari Kabupaten/Kota ke Kecamatan (Puskesmas) serta Desa/Kelurahan (Posyandu) sesuai dengan frekuensi pelaporan pada setiap bulan berikutnya.

3.    Output dan Program Pemerintah

1.    Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi yang menitikberatkan pada penyelamatan 1000 HPK.

Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi adalah upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara terencana dan terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat prioritas pada 1000 HPK. Salah satu tujuan dari Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan adalah meningkatkan kemampuan pengelolaan program gizi, khususnya koordinasi antar sektor untuk mempercepat sasaran perbaikan gizi; dan untuk memperkuat implementasi konsep program gizi yang bersifat langsung dan tidak langsung.

Indikator hasil merupakan indikator yang digunakan untuk menilai dampak pelaksanaan Gerakan 1000 HPK pada akhir tahun 2025. Indikator hasil tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:

Tabel 1. Tabel Indikator Hasil

No

Indikator

1

Menurunkan proporsi anak balita yang

stunting sebesar 40 %

2

Menurunkan proporsi anak balilta yang menderita kurus (wasting) kurang dari

5 %.

3

Menurunkan anak yang lahir berat

badan rendah sebesar 30 %

4

Tidak ada kenaikan proporsi anak yang

mengalami gizi lebih

5

Menurunkan   proporsi   ibu   usia subur

yang menderita anemia sebanyak 50 %

6.

Meningkatkan    prosentase    ibu    yang memberikan ASI ekslusif selama 6

bulan paling kurang 50 %

 

 

 

 

 

 

Sumber : Pedoman Perencanaan Program 1000 PHK

Cara melaksanakan monitoring dan evaluasi (monev) terhadap pedoman perencanaan program 1000 HPK:

·         Monitoring dan Evaluasi Indikator Proses: Identifikasi hasil dari setiap kegiatan yang dikumpulkan berdasarkan indikator proses yang ditetapkan.

·         Monitoring Indikator Intervensi: Dilakukan sesuai dengan mekanisme yang ada dengan mengacu pada indikator kinerja kunci program Gerakan 1000 HPK yang telah ditetapkan.

·         Monitoring Indikator Hasil: Dikumpulkan pengumpulan data melalui supervisi, survey atau studi yang sudah ada atau dirancang khusus untuk monitoring dan evaluasi pencapaian Gerakan 1000 HPK.

 

2.    Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2014 tentang Standar Tablet Tambah Darah (TTD) bagi Wanita Usia Subur dan Ibu Hamil.

Pembinaan terhadap standar TTD bagi wanita usia subur dan ibu hamil dilaksanakan oleh Menteri, kepala dinas kesehatan provinsi, dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kotasesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing secara terpadu. Pembinaan dilaksanakan melalui :

·         komunikasi, informasi, dan edukasi;

·         pemberdayaan masyarakat;

·         monitoring, evaluasi, bimbingan teknis; dan

·         supervisi.

Salah satu upaya penting dalam pencegahan dan penanggulangan anemia yang merupakan cara yang efektif karena dapat mencegah dan menanggulangi anemia akibat kekurangan zat besi dan atau asam folat. Tablet tambah darah merupakan tablet yang diberikan kepada wanita usia subur dan ibu hamil. Bagi wanita usia subur diberikan sebanyak 1 (satu) kali seminggu dan 1 (satu) kali sehari selama haid dan untuk ibu hamil diberikan setiap hari selama masa kehamilannya atau minimal 90 (sembilan puluh) tablet. Kegiatan intervensi yang diindikasikan melalui indikator input, proses, dan output tersebut diharapkan dapat berdampak pada penurunan prevalensi anemia pada rematri dan WUS. Sesuai dengan rekomendasi WHO tahun 2012 prevalensi anemia pada WUS diharapkan turun sebesar 50% pada tahun 2025.

Cakupan pemberian TTD pada remaja putri di Indonesia pada tahun 2017 adalah 29,51%. Hal ini sudah memenuhi target Renstra tahun 2017 yaitu 20%. Provinsi dengan persentase tertinggi cakupan pemberian TTD pada remaja putri adalah Bali (73,11%), sedangkan persentase terendah adalah Kalimantan Timur (2,86%). Ada sepuluh provinsi yang belum memenuhi target Renstra tahun 2017. Provinsi Sulawesi Barat dan Papua Barat belum mengumpulkan data.

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat secara global yang memengaruhi 1,62 milyar penduduk dunia (WHO, 2008). Sejauh ini, anemia defisiensi besi merupakan penyebab umum kejadian anemia. Hal ini merugikan karena dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas (Kotwal, 2016).

Sehingga untuk menanggulangi adanyanya prevalensi yang lebih besar maka adanya kegiatan surveilans ini yaitu untuk mengetahui akar masalah sehingga mendapatkan kebijakan untuk penyelesaian.

Yang meliputi apa, siapa, kapan, dimana, dll untuk mengetahui prioritas masalah. Lalu pengumpulan data penyakit anemia biasanya digunakan metode kuisioner. Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, mengenai status gizi (Sugiyono, 2009). Lalu dilakukan diseminasi informasi untuk menyebarluaskan informasi surveilans gizi kepada pemangku kepentingan. Kegiatan diseminasi informasi dapat dilakukan dalam bentuk pemberian umpan balik, sosialisasi atau advokasi. Sehingga didapatkan kebijakan penyelesaian yang sesuai.

 

B.    Saran

Diperlukan banyak peran dari pemangku kebijakan untuk penyelesaian masalah gizi ini. Diperlukan kerjasama multisektor, sehingga tidak hanya pada sektor kesehatan saja namun ada dari sektor ekonomi, keuangan, dll.

Daftar Pustaka

Amrihati, Endang Titi (2002) Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Anemia Mahasiswi Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Jakarta III Kebayoran Baru Jakarta Selatan Tahun 2002. Tesis. Depok : FKM UI

Arisman ( 2004) Gizi Dalam Daur Hidup. Jakarta : EGC

Depkes. (1997). Penanggulangan Anemia Gizi Untuk Calon

Pengantin Wanita.Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Gibney, M.J.,Margaretts,B.M.,Kearney,J.M.,Arab,L (2009) Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC

Hamid, Sudihati. (2009). Peran Asupan Gizi dan Faktor Lain Terhadap Kadar Hemoglobin Siswi SMUN 3 Kota Padang Provinsi Sumatera Barat Tahun 2001. Tesis. Depok: FKM UI.

Kraemer,K dan Zimmermann,MB. (2007) Nutritional Anemia : Germany : Sight And Life Press

Miller H.A.E, Mason A.C, Weaver C.M, McCabe G.P, Boushey C.J (2009) Food Insecurity Is Associated With Iron Deficiency                                                              Anemia  in US Adolescent. American Journal Nutrition 2009;90:13, 58-71 www.ajcn.org ( 20 Febuari 2020).

Price,S.A.,Wilson,L.M. (2007) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Jakarta : EGC

Silbernagl and Lang (2000) Color Atlas of Phatophysiologi : Thiemi Flexibook

Supandiman, I (1997) Hematologi Klinik Bandung : PT Alumni

Waterbury,L.(2002). Buku Saku Hematologi. Jakarta : EGC

Direktorat gizi masyarakat. 2016.Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Anemia pada Remaja Putri dan Wanita Usia Subur.Jakarta.Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Kementrian Kesehatan. 2016. Pedoman Pencegahan & Penanggulangan Anemia pada Rematri dan WUS. Jakarta: Kementrian Kesehatan.

Kementerian Kesehatan RI. 2017. Profil Kesehatan Indonesia 2017. Jakarta. KementerianKesehatan.


No comments:

Post a Comment

KATALOG MENU BALITA

  KATALOG A.       Nasi -Nasi merah -Nasi tim - Nasi tim beras merah - Bubur nasi B.       Ayam -Bola-bola ayam kuah -Siomay...