BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Gizi merupakan salah satu
komponen yang sangat penting dalam pembangunan, yang dapat memberikan
konstribusi dalam mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas sehingga mampu
berperan secara optimal dalam pembangunan (Yayuk Farida, dkk, 2004:4). Kecukupan
gizi sangat diperlukan oleh setiap individu, sejak janin yang masih dalam
kandungan, bayi, anak-anak, remaja, dewasa sampai usia lanjut. Ibu atau calon
ibu merupakan kelompok rawan sehingga harus dijaga status gizi dan kesehatannya
(Depkes RI, 2003:1).
Anemia merupakan masalah
kesehatan masyarakat secara global yang memengaruhi 1,62 milyar penduduk dunia
(WHO, 2008). Menurut Stoltzfus dalam Anand (2013), jumlah penduduk terbesar
yang mengalami anemia adalah wanita yang tidak hamil yaitu 468,4 juta jiwa. Menurut
World Health Organization (WHO), anemia pada wanita prahamil adalah kadar
hemoglobin kurang dari 12 gr/dl. Sejauh ini, anemia defisiensi besi merupakan
penyebab umum kejadian anemia. Hal ini merugikan karena dapat mempengaruhi
morbiditas dan mortalitas (Kotwal, 2016).
Anemia dapat terjadi
akibat kekurangan zat gizi yang memiliki peran membentuk hemoglobin seperti zat
besi, protein, piridoksin, vitamin B12, vitamin C, asam folat, dan vitamin E.
Vitamin C berperan dalam absorbsi dan pelepasan zat besi dari transferin ke
jaringan. Asam folat berfungsi dalam metabolisme asam amino yang dibutuhkan
saat pembentukan sel darah merah dan sel darah putih. Vitamin B12 berfungsi
untuk mengaktifkan asam folat, sedangkan vitamin E untuk stabilisasi sel (Setyawati
dan Syauqy, 2014).
Protein merupakan sumber
gizi yang sangat dibutuhkan bagi semua sel. Strukturnya yang terdiri dari asam
amino berfungsi untuk menunjang keberadaan setiap sel tubuh serta memperkuat
sistem imun manusia. Protein berguna untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan
tubuh. Semua makanan yang berasal dari hewan dan tumbuhan mengandung protein
(Putra, 2013). Seperlima bagian tubuh tersusun atas protein, sebagian dari
jumlah tersebut berada pada otot, seperlima pada tulang dan tulang rawan, sepersepuluh
berada pada kulit, sisanya berada pada jaringan lain dan cairan tubuh. Semua
enzim, hormon, pengangkut zat-zat gizi dan darah, serta matriks intraseluler
merupakan protein (Almatsier, 2010).
Zat besi merupakan mineral
mikro yang paling banyak pada tubuh. Besi memiliki fungsi untuk mengangkut
oksigen, mengangkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian dari reaksi enzim
di dalam jaringan (Almatsier, 2010). Penyerapan besi dipengaruhi oleh banyak
faktor. Contohnya protein hewani dan vitamin C mampu meningkatkan penyerapan,
sedangkan kopi, teh, garam, kalsium, magnesium dapat mengikat besi sehingga
proses penyerapannya berkurang (Arisman, 2010). Protein, zat besi dan
piridoksin berfungsi sebagai katalisator sintesis heme. Protein berperan dalam
menangkut zat besi untuk dijadikan hemoglobin baru di sumsum tulang (Setyawati
dan Syauqy, 2014). Proporsi anemia pada perempuan tidak hamil umur ≥ 15 tahun
adalah 22,7%. Keadaan ini merupakan akibat dari asupan zat gizi besi dari
makanan yang baru memenuhi 40% dari kecukupan. Hal tersebut berlanjut
mengakibatkan anemia pada ibu hamil dengan prevalensi sebesar 37,1% (Riskesdas,
2013).
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
masalah anemia gizi besi yang terjadi di Indonesia pada saat ini?
2.
Bagaimana
skala prioritas masalah anemia gizi besi di Indonesia?
3.
Bagaimana
intervensi gizi yang dilakukan untuk penderita anemia gizi besi?
4.
Bagaimana
implementasi program gizi terutama masalah anemia gizi besi pada masyarakat?
C. Tujuan
Masalah
1.
Mengetahui
masalah anemia gizi besi yang terjadi di Indonesia pada saat ini.
2.
Mengidentifikasi
faktor penyebab masalah anemia gizi besi.
3.
Mengidentifikasi
besar masalah anemia gizi besi yang terjadi di Indonesia.
4.
Mengidentifikasi
dampak masalah anemia gizi besi.
5.
Menganalisis
skala prioritas masalah anemia gizi besi di Indonesia.
6.
Menganalisa
intervensi gizi yang dilakukan untuk penderita anemia gizi besi.
7.
Mengidentifikasi
implementasi program gizi terutama masalah anemia gizi besi pada masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Anemia
1.
Definisi
Anemia
Anemia adalah berkurangnya sel darah
merah, kuantitas hemoglobin dan volume hematokrit sampai dibawah nilai normal
per 100 ml darah (Price,2007). Menurut Supandiman (1997) anemia adalah suatu
keadaan dimana kadar hemoglobin menurun sehingga tubuh akan mengalami hipoksia
sebagai akibat kemampuan kapasitas pengangkutan oksigen dari darah berkurang.
Nilai batas penentu kategori anemia berbeda untuk setiap kelompok umur dan
jenis kelamin seperti terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Nilai batas penentu kategori
anemia berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin
Kelompok |
Umur |
Hemoglobin (g/dl) |
Anak |
6-59 bulan |
11,0 |
|
5-11 tahun |
11,5 |
|
12-14 tahun |
12,0 |
Dewasa |
Wanita (>15 tahun) |
12,0 |
|
Wanita hamil |
11,0 |
|
Laki-laki (>15 tahun) |
13,0 |
Sumber : WHO (2001)
dalam ( Hamid, 2002)
2.
Anemia
Gizi
Anemia gizi adalah ketika keadaan
kadar hemoglobin, hemotokrit dan sel darah merah lebih besar dari nilai normal,
sebagai akibat dari defisiensi salah satu atau beberapa unsur makanan yang
esensial yang dapat mempengaruhi timbulnya defisiensi tersebut. Anemia gizi
disebabkan oleh defisiensi Fe, asam folat dan atau vitamin B12 yang
kesemuanya berakar pada asupan yang tidak cukup, ketersediaan hayati rendah dan
kondisi kecacingan yang masih tinggi (Arisman,2004). Di Indonesia sebagian
anemia ini karena kekurangan zat besi (Fe) sehingga disebut anemia gizi besi
(Depkes,1997).
3.
Anemia
Gizi Besi
Anemia gizi besi merupakan
kelainan gizi yang paling sering ditemukan didunia dan menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang bersifat epidemik. Sebelum terjadinya anemia gizi
besi biasanya akan terjadi defisiensi zat besi yaitu berkurangnya cadangan zat
besi dalam tubuh.
Menurut Gibney (2009)
defisiensi zat besi dapat dipilah menjadi tiga tahap dengan derajat keparahan
dan berkisar dari ringan hingga berat,yaitu :
1.
Tahap
pertama meliputi berkurangnya simpanan zat besi yang ditandai berdasarkan
penurunan kadar feritin serum. Meskipun tidak disertai konsekuensi fisiologis
yang buruk, namun keadaan ini menggambarkan adanya peningkatan kerentanan dari
keseimbangan besi yang marjinal untuk jangka waktu lama sehingga dapat terjadi
defisiensi zat besi yang berat.
2.
Tahap
kedua ditandai oleh perubahan biokimia yang mencerminkan kurangnya zat besi
bagi produksi hemoglobin yang normal. Pada keadaan ini terjadi penurunan
kejenuhan transferin eritrosit, dan peningkatan jumlah reseptor transferin serum.
3.
Tahap
ketiga defisiensi zat besi berupa anemia. Pada anemia karena defisiensi zat besi yang berat, kadar
hemoglobinya kurang dari 7 gr/dl.
B.
Faktor
Penyebab Anemia
1.
Simpanan
zat besi yang buruk
Simpanan
zat besi dalam tubuh orang Asia memiliki jumlah yang tidak besar, terbukti dari
rendahnya kadar hemosiderin dalam sumsum tulang dan rendahnya simpanan zat besi
di dalam hati (Gibney ,2009).
2.
Ketidak
cukupan gizi
Penyebab utama anemia karena
defisiensi zat besi, adalah konsumsi gizi yang tidak memadai. Banyak orang
tergantung hanya pada makanan nabati yang memiliki absorpsi zat besi yang buruk
dan terdapat beberapa zat dalam makanan tersebut yang mempengaruhi absorpsi
besi. Waterbury (2002) menyatakan anemia karena kekurangan zat besi dalam
makanan pada bayi dan orang dewasa karena pertumbuhan melebihi suplai dalam
makanan. Di beberapa negara pada orang dewasa juga sering terjadi anemia karena
kurangnya zat besi dalam makanan. Malnutrisi terutama di negara berkembang
merupakan penyebab anemia gizi besi (Silbernagl, 2000). Menurut Husaini 1989
dalam (Amrihati 2002) anemia gizi besi disebabkan pertama karena jumlah zat
besi dalam makanan tidak cukup karena ketersediaan zat besi dalam bahan makanan
rendah, praktek pemberian makan kurang baik dan sosial ekonomi rendah. Kedua
absorbsi zat besi yang rendah karena komposisi makanan kurang beragam dan
terdapat zat penghambat absorbsi zat besi. Ketiga kebutuhan yang meningkat karena
pertumbuhan fisik, kehamilan dan menyusui dan keempat kehilangan darah karena
perdarahan kronis, parasit, infeksi dan pelayanan kesehatan rendah. Pada
penelitian Miller dkk
(2009) dalam
American Nutritional
Jurnal menyatakan anak usia 12-15 tahun dengan kerawanan pangan (food insecure) di rumah tangga
kemungkinan 2,95 kali
menjadi anemia gizi
besi dibandingkan dengan
anak-anak yang memiliki ketahanan pangan di rumah tangga. Kerawanan pangan
disebabkan karena konsumsi makan yang kurang, melewatkan waktu makan dan tidak
makan seharian, sehingga asupan nutrisi rendah termasuk zat besi
3.
Peningkatan
Kebutuhan.
Gibney (2009) mengungkapkan terdapat
peningkatan kebutuhan zat besi selama kehamilan dan menyusui. Pertumbuhan yang
cepat selama masa bayi dan kanak-kanak meningkatkan pula kebutuhan zat besi.
Kebutuhan zat besi, juga mengalami peningkatan kebutuhan yang cukup besar
selama pubertas, pada remaja putri, awal menstruasi memberikan beban ganda.
4. Malabsorbsi dan Peningkatan Kehilangan
Diare
yang berulang akibat kebiasaan kebiasaan yang tidak higienis dapat
mengakibatkan malabsorbsi. Insidens diare yang cukup tinggi, terjadi terutama
pada kebanyakan negara berkembang. Infestasi cacing, khususnya cacing tambang
dan askaris, menyebabkan kehilangan zat besi dan malabsorbsi zat besi. Di
daerah endemik malaria yang berulang dapat menimbulkan anemia karena defisiensi
zat besi. Pada wanita, perdarahan pascapartum akibat perawatan obstetrik yang
buruk, kehamilan yang berkali-kali dengan jarak antar kehamilan yang pendek,
periode laktasi yang panjang, dan penggunaan IUD untuk keluarga berencana
merupakan kontributor penting Gibney (2009). Silbernagl (2000) menyatakan
malabsorbsi bisa dikarenakan kurangnya asam klorida di pencernaan, penyakit di
usus kecil, dan karena adanya komponen makanan penghambat penyerapan zat besi
seperti phitat, tannin , oksalat dan lain-lain
5.
Infeksi
Kemiskinan
dan keadaan sanitasi lingkungan yang buruk dan pelayanan kesehatan yang tidak
adekuat akan meningkatkan kejadian infeksi. Penyakit infeksi seperti infeksi
saluran pernafasan, diare, malaria TB, HIV/AIDS dan penyakit infeksi lainnya
dapat mempengaruhi metabolisme zat besi. Peradangan saat terkena infeksi direspon
oleh tubuh dengan meningkatkan sirkulasi
hepeidin. Hepeidin akan mencegah
penyerapan zat besi, menurunkan metabolisme zat besi, menurunkan
erythropoesis dan menurunkan plasma retinol sehingga akan menyebabkan anemia
Kraemer (2007).
C. Situasi dan Dampak Anemia
Anemia
adalah penyebab kedua terkemuka didunia dari kecacatan dan dengan demikian
salah satu masalah kesehatan masyarakat paling serius global (WHO, 2014).
Menurut WHO 2013, 30% atau sekitar 2 miliar penduduk dunia menderita anemia dan
lebih dari 50% merupakan anemia defiseinsi besi. Salah satu yang termasuk dalam
golongan rawan anemia adalah remaja putri. Jumlah penduduk usia remaja (10-19
tahun) di Indonesia sebesar 26,2% yang terdiri dari 50,9% laki-laki dan 49,1%
perempuan (Kemenkes RI, 2013).
Depkes
(2011) menyatakan prevalensi anemia di indonesia cukup tinggi pada remaja
putri, yaitu 26.5%. Berdasarkan data Depkes RI (2012) prevalensi anemia
defisiensi besi di Indonesia pada balita sebesar 40,5%, ibu hamil sebesar
50,5%, ibu nifas sebesar 45,1%, remaja putri usia 10-18 tahun sebesar 57,1%,
dan pada Wanita Usia Subur (WUS) usia 19-45 tahun sebesar 39,5%. Berdasarkan
kelompok usia tersebut yang memiliki risiko paling besar menderita anemia
adalah remaja putri usia 10-18 tahun.
Pada
tahun 2013, Riskesdas menyebutkan bahwa
prevalensi nasional anemia sebesar 21.7%. Untuk daerah perkotaan sebesar
20.6% dan 22.8% pada pedesaan. Berdasarkan jenis kelamin, 23.9% perempuan dan
18.4% laki-laki mengalami anemia, sedang menurut kelompok umur, 5-14 tahun
sebesar 26.4% da, 15-24 tahun sebesar 18.4%.
Prevalensi
anemia pada remaja putri di Indonesia dari tahun 2011 menuju tahun 2013
mengalami penurunan, kemudian meningkat kembali pada tahun 2014. Hal ini
menunjukkan walaupun terdapat penurunan pada tahun 2013, tetapi kejadian anemia
pada remaja putri masih terus terjadi dan masih berada di bawah target yang
ditentukan oleh pemerintah. Untuk menanggapi kejadian anemia yang masih terus
terjadi, perlu dilakukan upaya inetervensi atau pencegahan untuk mencegah
peningkatan kejadian anemia pada remaja putri.
Anemia
pada remaja putri dapat menyebabkan cepat lelah, konsentrasi belejar menurun,
sehingga prestasi belajar rendah dan dapat menurunkan produktivitas kerja.
Anemia juga menurunkan daya tahan tubuh, sehingga mudah terkena infeksi
(Arisman, 2010). Selain itu, anemia dapat menurunkan kebugaran remaja, serta
meningkatkan resiko terjadinya gangguan kehamilan pada saat dewasa (Veni,
2004).
- Skala
Prioritas Masalah
Untuk
menanggulangi atau mengendalikan keadaan kurang gizi, maka Anda akan sangat
tergantung pada informasi mengenai status gizi penduduk. Informasi tersebut
diberikan oleh indikator status gizi, yang menjadi ciri khas, seperti masalah
masalah gizi buruk. Indikator ini kemudian harus Anda kaitkan dengan
karakteristik individu, waktu dan lokasi, untuk mendapatkan indikasi distribusi
masalah dalam populasi dan gambaran situasi secara keseluruhan. Hal lain yang
harus Anda pelajari adalah sewaktu menentukan prioritas untuk situasi gizi,
Anda harus mengajukan pertanyaan sebagai berikut
1.
Apa
jenis kekurangan gizi (misalnya kekurangan gizi, kekurangan gizi, kekurangan
zat gizi mikro, tingkat keparahan, dll)?
2.
Siapa
yang menderita kekurangan gizi (misalnya usia, jenis kelamin, tempat tinggal,
dll)?
3.
Di
mana orang-orang yang kekurangan gizi ini (misalnya zona atau wilayah administratif
yang paling berisiko, distrik, daerah, dll)?
4.
Kapan
hal itu terjadi (misalnya sementara, musiman atau tahunan; berulang atau tidak,
kronis)?
5.
Sifat
masalah (misalnya keadaan darurat atau "situasi normal")?
Analisis
data situasi gizi dapat berupa analisis dekriptif dan analisis analitik.
Analisis deskriptif ditujukan untuk memberi gambaran umum tentang data cakupan
kegiatan pembinaan gizi masyarakat. Dengan analisis deskriptif kita dapat
menentukan daerah prioritas untuk melakukan pembinaan wilayah dan menentukan
kecenderungan antar waktu.
a.
Menetapkan
Daerah Prioritas untuk Pembinaan Wilayah
Analisis
deskriptif dilakukan untuk membandingkan antar wilayah dilakukan dengan
membandingkan hasil cakupan antar wilayah dengan target yang harus dicapai.
Wilayah yang cakupannya masih rendah harus mendapat prioritas untuk dibina.
b.
Membandingkan
Kecenderungan antar Waktu
Analisis
deskriptif juga dapat digunakan untuk melihat kecenderungan antar waktu di
suatu daerah dengan membandingkan hasil cakupan dalam satu periode waktu
tertentu dengan target yang harus dicapai.
Analisis
analitik dimaksudkan untuk memberi gambaran hubungan antar dua atau lebih
indikator yang saling terkait, baik antar indikator gizi maupun antar indikator
gizi dengan indikator program terkait lainnya. Tujuan analisis analitik
bertujuan antara lain untuk menentukan upaya yang harus dilakukan jika terdapat
kesenjangan cakupan antar dua indicator
Ada
beberapa metoda yang dapat digunakan untuk menentukan prioritas masalah
kesehatan yaitu (1) Metoda Matematik (2) Metoda Delbeque (3) Metoda Delphi dan
(4) Metoda estimasi beban kerugianakibat sakit (diseaseburden)
·
Metoda Matematika
Metoda ini
dikenal juga sebagai metoda PAHO yaitu singkatan dari Pan American Health
Organization,karenadigunakandandikembangkan di wilayah Amerika Latin. Dalam
metoda ini dipergunakan beberapa kriteria untuk menentukan prioritas masalah
kesehatan disuatu wilayah berdasarkan: (a) Luasnya masalah (magnitude) (b)
Beratnya kemgian yang timbul (Severity) (c) Tersedianya sumberdaya untuk
mengatasi masalah kesehatan tersebut ( Vulnerability (d) Kepedulian/dukungan
politis dan dukungan masyarakat (Community andpolitical concern) (e)
Ketersediaandata(Affordability)
·
Metoda Delbeque dan Delphi Metoda
Delbeque
adalah metoda
kualitatif dimana prioritas masalah penyakit ditentukan secara kualitatif oleh
panel expert. Caranya sekelompok pakar diberi informasi tentang masalah
penyakit yang perlu ditetapkan prioritasnya termasuk data kuantitatif yang ada
untuk masing-masing penyakit tersebut.
·
Metoda Estimasi Bebari Kerugian
(Disease Burden)
Metoda
Estimasi Beban Kerugian dari segi teknik perhitungannya lebih canggih dan
sulit, karena memerlukan data dan perhitungan hari produktif yang hilang yang
disebabkan oleh masing-masing masalah. Sejauh ini metoda ini jarang dilakukan
di tingkat kabupaten atau kota di era desentralisasi programkesehatan.
Bahkanditingkat nasionalpun baru Kementrian Kesehatan dengan Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan yang mencoba menghitung berapa banyak Kerugian yang
ditimbulkan dalam kehidupan tahunan penduduk
·
Metoda Perbandingan antara Target dan
Pencapaian Program Tahunan
Metoda
penetapan prioritas masalah kesehatan beradasarkan pencapaian program tahunan
yang dilakukan adalah dengan membandingkan antara target yang ditetapkan dari
setiap program dengan hasil pencapaian dalam suatu kurun waktu 1 tahun.
Penetapan prioritas masalah kesehatan seperti ini sering digunakan oleh
pemegang atau pelaksana program kesehatan di tingkat Puskesmas dan Tingkat
Kabupaten/Kota pada era desentralisasi saat ini.
E. Implementasi
Tahap Surveilans
1. Cara
Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penyakit anemia biasanya digunakan
metode kuisioner. Kuesioner adalah sejumlah
pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden
dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal – hal yang diketahui (Sugiyono,
2009). Kuesioner dipakai untuk menyebutkan metode maupun instrumen. Jadi dalam
menggunakan metode angket atau kuesioner instrumen yang dipakai adalah angket
atau kuesioner.
Angket atau kuesioner merupakan suatu
teknik pengumpulan data secara tidak langsung (peneliti tidak langsung bertanya
jawab dengan responden). Instrumen atau alat pengumpulan datanya juga disebut
angket berisi sejumlah pertanyaan – pertanyaan yang harus dijawab atau direspon
oleh responden. Responden mempunyai kebiasaan untuk memberikan jawaban atau
respon sesuai dengan presepsinya. Kuesioner merupakan metode penelitian yang
harus dijawab responden untuk menyatakan pandangannya terhadap suatu persoalan.
Sebaiknya pertanyaan dibuat dengan bahasa sederhana yang mudah dimengerti dan
kalimat-kalimat pendek dengan maksud yang jelas. Penggunaan kuesioner sebagai
metode pengumpulan data terdapat beberapa keuntungan, diantaranya adalah
pertanyaan yang akan diajukan pada responden dapat distandarkan, responden
dapat menjawab kuesioner pada waktu luangnya, pertanyaan yang diajukan dapat
dipikirkan terlebih dahulu sehingga jawabannya dapat dipercaya dibandingkan
dengan jawaban secara lisan, serta pertanyaan yang diajukan akan lebih tepat
dan seragam.
2. Diseminasi
Informasi
Diseminasi informasi dilakukan untuk menyebarluaskan
informasi surveilans gizi kepada pemangku kepentingan. Kegiatan diseminasi
informasi dapat dilakukan dalam bentuk pemberian umpan balik, sosialisasi atau
advokasi.
-Umpan
balik merupakan respon tertulis mengenai informasi surveilans gizi yang
dikirimkan kepada pemangku kepentingan pada berbagai kesempatan baik pertemuan
lintas program maupun lintas sektor.
-Sosialisasi merupakan penyajian hasil surveilans
gizi dalam forum koordinasi atau forum-forum lainnya.
-advokasi merupakan penyajian hasil surveilans
gizi dengan harapan memperoleh dukungan dari pemangku kepentingan.
Pemanfaatan
Informasi Hasil Surveilans Gizi
Hasil surveilans gizi
dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan sebagai tindak lanjut atau respon
terhadap informasi yang diperoleh. Tindak lanjut atau respon dapat berupa
tindakan segera, perencanaan jangka pendek, menengah dan panjang serta
perumusan kebijakan pembinaan gizi masyarakat baik di kabupaten/kota, provinsi
dan pusat.
Contoh tindak lanjut atau
respon yang perlu dilakukan terhadap pencapaian indikator Jika hasil analisis
menunjukkan cakupan defisiensi vitamin A
maka respon yang harus dilakukan adalah:
a.
Bila
ketersediaan kapsul vitamin A di puskesmas tidak mencukupi maka perlu mengirim
kapsul vitamin A ke puskesmas.
b.
Bila
kapsul vitamin A masih tersedia, maka perlu meminta Puskesmas untuk melakukan
sweeping.
c.
Melakukan
pembinaan kepada puskesmas dengan cakupan rendah.
Mekanisme
Alur Pelaporan
Mekanisme
dan alur pelaporan, umpan balik serta koordinasi pelaksanaan surveilans gizi
digambarkan sebagai berikut:
Penjelasan Alur Pelaporan dan Umpan
Balik serta Koordinasi:
- Laporan kegiatan surveilans
dilaporkan secara berjenjang sesuai sumber data (bisa mulai dari Posyandu
atau dari Puskesmas)
- Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dan Dinas Kesehatan Provinsi berkoordinasi dengan Rumah Sakit (RS)2
Pusat/Provinsi/Kabupaten/ Kota tentang data terkait, seperti data kasus
gizi buruk yang mendapat perawatan.
- Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
mengirimkan rekapitulasi laporan dari Puskesmas (Kecamatan) dan dari RS
Kabupaten/Kota ke Dinas Kesehatan Provinsi dan Direktorat Bina Gizi,
Ditjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Kementerian Kesehatan RI,
sesuai dengan frekuensi pelaporan.
- Umpan balik hasil kegiatan
surveilans disampaikan secara berjenjang dari Pusat ke Provinsi setiap 3
bulan atau setiap saat bila terjadi perubahan kinerja, dari Provinsi ke
Kabupaten/Kota dan dari Kabupaten/Kota ke Kecamatan (Puskesmas) serta
Desa/Kelurahan (Posyandu) sesuai dengan frekuensi pelaporan pada setiap
bulan berikutnya.
3. Output
dan Program Pemerintah
1.
Peraturan
Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi
yang menitikberatkan pada penyelamatan 1000
HPK.
Gerakan
Nasional Percepatan Perbaikan Gizi adalah upaya bersama antara pemerintah dan
masyarakat melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan
secara terencana dan terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat
prioritas pada 1000 HPK. Salah satu tujuan dari Gerakan Nasional Percepatan
Perbaikan adalah meningkatkan kemampuan pengelolaan program gizi, khususnya
koordinasi antar sektor untuk mempercepat sasaran perbaikan gizi; dan untuk memperkuat
implementasi konsep program gizi yang bersifat langsung dan tidak langsung.
Indikator hasil merupakan
indikator yang digunakan untuk menilai dampak pelaksanaan Gerakan 1000 HPK pada
akhir tahun 2025. Indikator hasil tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:
Tabel 1. Tabel Indikator
Hasil
No |
Indikator |
1 |
Menurunkan proporsi anak balita yang stunting sebesar 40 % |
2 |
Menurunkan proporsi anak balilta
yang menderita kurus (wasting) kurang dari 5 %. |
3 |
Menurunkan anak yang lahir berat badan rendah sebesar 30 % |
4 |
Tidak ada kenaikan proporsi anak
yang mengalami gizi lebih |
5 |
Menurunkan proporsi
ibu usia subur yang menderita anemia sebanyak 50 % |
6. |
Meningkatkan prosentase ibu yang memberikan
ASI ekslusif selama 6 bulan paling kurang 50 % |
Sumber : Pedoman
Perencanaan Program 1000 PHK
Cara melaksanakan
monitoring dan evaluasi (monev) terhadap pedoman perencanaan program 1000 HPK:
·
Monitoring
dan Evaluasi Indikator Proses: Identifikasi hasil dari setiap kegiatan yang
dikumpulkan berdasarkan indikator proses yang
ditetapkan.
·
Monitoring
Indikator Intervensi: Dilakukan sesuai dengan mekanisme yang ada dengan mengacu
pada indikator kinerja kunci program Gerakan 1000 HPK yang telah ditetapkan.
·
Monitoring
Indikator Hasil: Dikumpulkan pengumpulan data melalui supervisi, survey atau
studi yang sudah ada atau dirancang khusus untuk monitoring dan evaluasi
pencapaian Gerakan 1000 HPK.
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 88 Tahun 2014 tentang Standar Tablet Tambah Darah (TTD) bagi
Wanita Usia Subur dan Ibu Hamil.
Pembinaan terhadap standar TTD bagi
wanita usia subur dan ibu hamil dilaksanakan oleh Menteri, kepala dinas
kesehatan provinsi, dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kotasesuai dengan
tugas dan kewenangan masing-masing secara terpadu. Pembinaan dilaksanakan
melalui :
·
komunikasi,
informasi, dan edukasi;
·
pemberdayaan
masyarakat;
·
monitoring,
evaluasi, bimbingan teknis; dan
·
supervisi.
Salah satu upaya penting dalam
pencegahan dan penanggulangan anemia yang merupakan cara yang efektif karena
dapat mencegah dan menanggulangi anemia akibat kekurangan zat besi dan atau
asam folat. Tablet tambah darah merupakan tablet yang diberikan kepada wanita
usia subur dan ibu hamil. Bagi wanita usia subur diberikan sebanyak 1 (satu)
kali seminggu dan 1 (satu) kali sehari selama haid dan untuk ibu hamil
diberikan setiap hari selama masa kehamilannya atau minimal 90 (sembilan puluh)
tablet. Kegiatan intervensi yang diindikasikan melalui indikator input, proses,
dan output tersebut diharapkan dapat berdampak pada penurunan prevalensi anemia
pada rematri dan WUS. Sesuai dengan rekomendasi WHO tahun 2012 prevalensi
anemia pada WUS diharapkan turun sebesar 50% pada tahun 2025.
Cakupan pemberian TTD pada remaja
putri di Indonesia pada tahun 2017 adalah 29,51%. Hal ini sudah memenuhi target
Renstra tahun 2017 yaitu 20%. Provinsi dengan persentase tertinggi cakupan
pemberian TTD pada remaja putri adalah Bali (73,11%), sedangkan persentase
terendah adalah Kalimantan Timur (2,86%). Ada sepuluh provinsi yang belum
memenuhi target Renstra tahun 2017. Provinsi Sulawesi Barat dan Papua Barat
belum mengumpulkan data.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Anemia merupakan masalah kesehatan
masyarakat secara global yang memengaruhi 1,62 milyar penduduk dunia (WHO, 2008).
Sejauh ini, anemia defisiensi besi merupakan penyebab umum kejadian anemia. Hal
ini merugikan karena dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas (Kotwal,
2016).
Sehingga untuk menanggulangi adanyanya
prevalensi yang lebih besar maka adanya kegiatan surveilans ini yaitu untuk
mengetahui akar masalah sehingga mendapatkan kebijakan untuk penyelesaian.
Yang meliputi apa, siapa, kapan, dimana, dll untuk mengetahui prioritas masalah. Lalu pengumpulan data penyakit anemia biasanya digunakan metode kuisioner. Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, mengenai status gizi (Sugiyono, 2009). Lalu dilakukan diseminasi informasi untuk menyebarluaskan informasi surveilans gizi kepada pemangku kepentingan. Kegiatan diseminasi informasi dapat dilakukan dalam bentuk pemberian umpan balik, sosialisasi atau advokasi. Sehingga didapatkan kebijakan penyelesaian yang sesuai.
B.
Saran
Diperlukan
banyak peran dari pemangku kebijakan untuk penyelesaian masalah gizi ini.
Diperlukan kerjasama multisektor, sehingga tidak hanya pada sektor kesehatan
saja namun ada dari sektor ekonomi, keuangan, dll.
Daftar Pustaka
Amrihati, Endang Titi (2002) Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status
Anemia Mahasiswi Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Jakarta III Kebayoran Baru
Jakarta Selatan Tahun 2002. Tesis. Depok : FKM UI
Arisman ( 2004) Gizi Dalam Daur Hidup. Jakarta : EGC
Depkes.
(1997). Penanggulangan Anemia Gizi Untuk
Calon
Pengantin
Wanita.Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Gibney,
M.J.,Margaretts,B.M.,Kearney,J.M.,Arab,L (2009) Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC
Hamid, Sudihati. (2009). Peran Asupan Gizi dan Faktor Lain Terhadap Kadar
Hemoglobin Siswi SMUN 3 Kota Padang Provinsi Sumatera Barat Tahun 2001. Tesis.
Depok: FKM UI.
Kraemer,K dan Zimmermann,MB. (2007) Nutritional Anemia : Germany : Sight And
Life Press
Miller
H.A.E, Mason A.C, Weaver C.M, McCabe G.P, Boushey C.J (2009) Food Insecurity Is Associated With Iron Deficiency Anemia in US Adolescent. American Journal
Nutrition 2009;90:13, 58-71 www.ajcn.org (
20 Febuari 2020).
Price,S.A.,Wilson,L.M. (2007) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit.Jakarta : EGC
Silbernagl and Lang (2000) Color Atlas of Phatophysiologi : Thiemi
Flexibook
Supandiman, I (1997) Hematologi Klinik
Bandung : PT Alumni
Waterbury,L.(2002). Buku Saku Hematologi. Jakarta : EGC
Direktorat gizi
masyarakat. 2016.Pedoman Pencegahan dan
Penanggulangan Anemia pada Remaja Putri dan Wanita Usia Subur.Jakarta.Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia
Kementrian Kesehatan. 2016. Pedoman Pencegahan & Penanggulangan
Anemia pada Rematri dan WUS. Jakarta: Kementrian Kesehatan.
Kementerian
Kesehatan RI. 2017. Profil Kesehatan
Indonesia 2017. Jakarta. KementerianKesehatan.
No comments:
Post a Comment