Masalah Gizi Ganda di Indonesia
Memasuki era globalisasi, Indonesia
masih menghadapi masalah gizi ganda, yaitu masalah gizi kurang
dan lebih dengan
resiko penyakit yang ditimbulkan.
Masalah gizi ganda pada
hakekatnya merupakan masalah perilaku.
Untuk mengkoreksi masalah
gizi ganda dapat dilakukan
dengan pendekatan melalui
pemberian informasi tentang perilaku gizi yang baik
dan benar (Rahmiwati,dkk, 2018). Yang mengkhawatirkan adalah
dimensi masalah gizi ganda di sepanjang kehidupan, atau keterkaitan antara gizi
buruk pada ibu hamil dan janin dengan meningkatnya kerentanan terhadap
kelebihan gizi dan pola makan yang terkait penyakit tidak menular di kemudian
hari (Indonesia Healt Sector, 2012).
1. Gizi
Kurang
Salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi kesehatan individu atau masyarakat adalah konsumsi gizi setiap
individu. Gizi kurang adalah suatu masalah gizi yang disebabkan oleh karena
kurangnya asupan gizi baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang, umumnya
ditentukan oleh jenis zat gizi apa yang kurang dikonsumsi oleh balita (
Setyawati & Hartini, 2018).
Di Indonesia, kurang gizi banyak
dialami pada anak balita, wanita hamil dan menyusui. Tiga golongan ini disebut
golongan rawan gizi (Pollitt, 2000). Anak balita termasuk golongan masyarakat
yang paling mudah menderita kelainan gizi, karena pada usia ini anak sedang
dalam proses berkembang yang sangat pesat sehingga membutuhkan zat-zat gizi
yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya (Patel et al., 2006; Lacquaniti et al.,
2009). Karena keadaan yang demikian kondisi zat gizi anak sering tidak
mencukupi baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya (Skalicky et al., 2006).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
Indonesia (RISKESDAS) tahun 2018, prevalensi kejadian gizi kurang di Indonesia
mengalami penurunan pada tahun 2013 yaitu 19,6% menjadi 17,7% pada tahun 2018,
tetapi angka ini belum memenuhi target RPJMN 2019 yaitu 17,0%. (Kemenkes RI,
2018).
Terjadinya
gizi buruk dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor yang mempengaruhi terjadinya
gizi buruk antara lain:
a.
Pendapatan
Taraming,
dkk (2019) menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan keluarga maka status gizi
anak berdasarkan IMT/U juga akan meningkat artinya pendapatan keluarga yang
tinggi akan berpengaruh terhadap status gizi. Artaman (2015) juga menyatakan
bahwa Pendapatan keluarga erat hubungannya dengan kesehatan, keluarga yang
memiliki pendapatan tinggi akan lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan makanan
keluarga baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Wulanta, dkk (2019) pada
penelitian yang dilakukan di Desa Kima Bajo Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa
Utara pada anak usia 24-59 bulan, hasil penelian tersebut didapati bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara pendapatan keluarga dengan status gizi.
b.
Asupan
makanan
UNICEF (2013) menyatakan bahwa anak membutuhkan makanan yang seimbang untuk pemeliharaan tubuh, perbaikan sel-sel tubuh, pertumbuhan dan perkembangan anak. Afriyani (2019) juga menyatakan bahwa anak yang memiliki asupan nutrisi kurang memiliki kecenderung mengalami gizi kurang 15,484 kali lebih besar jika dibandingkan dengan anak yang memiliki asupan nutrisi dalam kategori baik. Hal ini disebabkan oleh karena asupan zat gizi merupakan kebutuhan essensial yang dalam pertumbuhan dan perkembangan anak balita.
c.
Pekerjaan
Ibu
Pekerjaan
yang mengharuskan ibu untuk keluar rumah dapat menyebakan kurangnya interaksi
dengan anak yang mengakibatkan kurangnya perhatian yang diberikan pada anak
sehingga dapat mempengaruhi proses tumbuh kembang anak (Sudargo, 2018)
d.
Pendidikan orang tua
Penelitian
Taraming, dkk (2019) pada Anak Usia 24-59 Bulan Di Desa Tiwoho Kecamatan Wori
Kabupaten Minahasa menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
pendidikan ibu dengan status gizi (IMT/U) dengan nilai p = 0,017, artinya
pendidikan ibu sangat berpengaruh terhadap kualitas pengasuhan dan merawat anak
karena ibu adalah pengasuh utama dari anak. Penelitian ini sejalan dengan teori
yang menyatakan pendidikan ibu berhubungan dangan status gizi karena ibu secara
langsung mengasuh anak baik dalam menyiapkan dan memberikan makanan pada anak
(Septikasari, 2018). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Putri, dkk (2015) yang dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Nanggalo
Padang pada anak bailita, hasil dari penelitian tersebut didapati bahwa
terdapat hubungan antara pendidikan ibu dengan status gizi.
e.
Pemberian
ASI dan kelengkapan imunisasi
Pemberian
ASI dan kelengkapan imunisasi juga memiliki hubungan yang bermakna dengan gizi
buruk karena ASI dan imunisasi memberikan zat kekebalan kepada balita sehingga
balita tersebut menjadi tidak rentan terhadap penyakit. Balita yang sehat tidak
akan kehilangan nafsu makan sehingga status gizi tetap baik (Mexitalia, 2011).
f.
Penyakit
infeksi
Penyakit
infeksi dapat memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang buruk dapat
mempermudah terkena penyakit infeksi, sehingga penyakit infeksi dengan keadaan
gizi merupakan suatu hubungan timbal balik (Notoatmodjo, 2003).
g.
Sanitasi
lingkungan
Sanitasi lingkungan buruk
terbukti sebagai faktor risiko kejadian gizi kurang dan gizi buruk pada balita
dengan OR 5,03, artinya ibu yang mempunyai balita gizi kurang dan gizi buruk
mempunyai risiko 5,03 kali untuk menderita gizi kurang dan gizi buruk bila
dibandingkan dengan ibu yang mempunyai balita gizi baik. Sanitasi lingkungan
memiliki peran yang cukup dominan dalam penyedianan lingkungan yang mendukung
kesehatan anak dan proses tumbuh kembangnya. Sanitasi lingkungan yang buruk
akan menyebabkan anak balita akan lebih muda terserang penyakit infeksi yang
akhirnya dapat mempengaruhi status gizi anak. Sanitasi lingkungan erat
kaitannya dengan ketersedian air bersih, ketersedian jamban, jenis lantai
rumah, serta kebersihan peralatan makanan, kebersihan rumah, pencahayaan,
ventilasi. Makin tersediannya air bersih untuk betuhan sehari-hari, maka makin
kecil risiko anak terkena penyakit kurang gizi.
Dampak Gizi Kurang
Gizi
kurang pada anak usia dini dapat membawa dampak negatif pada pertumbuhan fisik
maupun mental anak, yang selanjutnya akan menghambat prestasi belajar. Lebih
lanjut gizi kurang juga mampu menyebabkan penurunan daya tahan tubuh, hilangnya
masa hidup sehat anak usia dini serta dampak yang lebih serius adalah timbulnya
kecacatan, tingginya angka kesakitan dan percepatan kematian (Andriani, 2012).
Sedangkan menurut Devi (2010) Anak yang tidak cukup mendapat makan, dalam arti
kuantitas maupun kualitas akan menyebabkan anak tersebut tidak dapat tumbuh
normal.
2. Gizi
Lebih
Kelebihan gizi pada Balita akan berdampak
terus sampai dewasa. Kelebihan zat gizi ini dikenal dengan overweight dan
obesitas. Obesitas jarang sekali dibicarakan sebelum abad ke-20 karena di waktu
itu sebagian besar penduduk dunia masih menderita kekurangan gizi. Sehingga
peningkatan berat badan penduduk masih merupakan pertanda peningkatan status
kesehatan dan ekonomi suatu masyarakat. Baru sejak 25 tahun terakhir ini
permasalahan obesitas dan dampaknya semakin meningkat dibahas dalam berbagai
pertemuan ilmiah dan perencanaan kesehatan masyarakat di dunia.
Mekanisme
dasar dari terjadinya kelebihan berat badan sampai obesitas adalah ketidak seimbangan
masukan energi dan pengeluarannya. Penyebab dari ketidak seimbangan tersebut
adalah mudahnya akses dan variasi jenis makanan yang kaya energi. Sebaliknya
oleh kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup terjadi penurunan pengeluaran
energi dari 1,69 kkal/menit/KgBB menjadi 1,57 kkal/menit/KgBB.
Dampak
obesitas cukup luas terhadap berbagai penyakit kronik degeneratif seperti
hipertensi, penyakit jantung koroner, stroke, kanker dan diabetes tipe 2 serta
kelainan tulang. Akibat banyaknya penyakit yang bisa ditimbulkan oleh obesitas
sehingga angka morbiditas dan mortalitas penderita obesitas cukup tinggi.
Sehingga obesitas berdampak terhadap biaya kesehatan baik yang langsung maupun
yang tidak langsung. Diperkirakan di negara maju obesitas menghabiskan 2-10%
biaya kesehatan nasional masing-masing negara setiap tahun. Di negara
berkembang bisa melebihi dari 10%.
Secara
epidemiologi obesitas tidak akan terdistribusi sedemikian rupa saja di tengah
masyarakat, akan tetapi obesitas akan terjadi karena ada faktor-faktor yang menyebabkan Gizi Lebih
seperti:
a.
Jenis
kelamin, secara empiris wanita lebih banyak menderita obesitas dibanding pria.
Hal ini disebabkan faktor hormon wanita dan aktivitas sehari-hari serta
persentase lemak tubuh
b.
Usia,
meskipun obesitas sudah dimulai sejak kecil sampai menjelang tua. Namun usia
yang paling banyak menderita obesitas adalah usia 35-60 tahun. Faktor penyebab
obesitas pada usia ini adalah faktor makanan, gaya hidup, aktivitas pekerjaan
dan kondisi psikologis
c.
Tingkat
pendidikan, dari laporan OECD 2016 ditemukan wanita berpendidikan rendah 2-3
kali menderita obesitas lebih banyak dibanding dengan wanita berpendidikan
tinggi. Pada pria tidak ditemukan perbedaan yang spesifik tersebut. Apabila
anggota keluarganya mengalami obesitas terutama orang tuanya, maka anaknya akan
mempunyai peluang lebih besar mengalami obesitas. Terjadinya hal ini oleh
karena dampak gaya hidup, pola makan dan kebiasaan olah raga di tingkat rumah
tangga
d.
Status
ekonomi, di negara maju seperti Amerika serikat, Rusia, Jerman, dan Tiongkok
obesitas banyak terjadi pada kelompok masyarakat dengan sosio-ekonomi menengah
dan tinggi. Sedangkan di negara berkembang seperti India, Indonesia, Mesir dan
Pakistan kejadian obesitas banyak terdapat pada masyarakat dengan tingkat
sosio-ekonomi menengah ke bawah.
Berikut merupakan faktor-faktor risiko dari gizi lebih:
Faktor
risiko dasar dari terjadinya obesitas yaitu faktor peningkatan intake,
faktor metabolik dan penggunaan kalori dan gen. Kondisi ini terjadi karena
modernisasi, globalisasi dan urbanisasi.
Gambar 1. Faktor factor yang mempengaruhi prevelensi
Klasifikasi
·
Tipe
obesitas pertama adalah obesitas sentral disebut juga obesitas android atau
obesitas abdominal. Obesitas tipe ini ditandai dengan tingginya Body Mass
Index (BMI), persentase lemak tinggi dan lingkaran perut juga besar, pria
>94 cm dan wanita >80 cm. Penumpukan lemak di daerah visceral.
·
Obesitas
tipe sentral merupakan faktor risiko mayor untuk berkembang menjadi diabetes
melitus tipe 2.
·
Obesitas
periferal disebut juga dengan obesitas ginekoid. Karakteristik dari obesitas
ini ditandai dengan BMI dan persentase lemak tinggi tetapi lingkaran perut
normal. Penumpukan lemaknya di subkutaneus dan perifer. Obesitas jenis ini
ditemukan pada wanita dan bersifat metabolik proteksi.
Dampak Obesitas Terhadap
Status Kesehatan Masyarakat
a.
Percepatan
proses penuaan. Umur biologis adalah usia tubuh yang dipengaruhi oleh kondisi
kesehatan secara umum. Salah satu untuk menghitung umur biologis melalui
komposisi lemak dalam tubuh. Bila sel lemak berlebih maka dikeluarkannya
zat-zat yang bersifat oksidatif atau radikal bebas yang bisa menyebabkan umur
sel lebih tua
b.
Gangguan
kecerdasan. Studi Human Brain Mapping melaporkan bahwa jaringan otak
anak yang obesitas 4% lebih kurang dari anak dengan berat badan normal. Orang
dewasa yang menderita obesitas otaknya 8 tahun kelihatan lebih menua dari orang
dewasa dengan berat badan normal. Hal ini disebabkan oleh efek radikal bebas
dan gangguan pembuluh darah perifer karena kadar kadar lemak dan gula yang
tinggi
c.
Resistensi
insulin. Obesitas merupakan faktor risiko munculnya resistensi insulin yang
akan bermanifestasi munculnya hipertensi, dislipidemia, hiperuremia,
disfungsi endotel dan lipotoksisitas terhadap sel beta. Akibat obesitas
sentral akan meningkatkan kejadian DM tipe 2, penyakit kardiovaskuler dan
gangguan pembekuan darah. Sebesar 60% penderita DM tipe 2 berhubungan dengan
obesitas.
d.
Kanker.
Walaupun belum kuat bukti ilmiah hubungan sebab akibat obesitas ilmiah hubungan
sebab akibat obesitas dengan kanker namun banyak bukti penurunan berat badan
dan peningkatan aktivitas fisik dapat bermanfaat untuk mencegah perkembangan
sel kanker. Hal ini diduga melalui peranan Insulin-Like Growth Factor (IGF)
yaitu terjadinya peningkatan jumlah reseptor ini sehingga sel menjadi lebih
reaktif terhadap IGF.
e.
Osteoartritis
sebagai
efek mekanisme akibat obesitas berupa bisa osteoatritis pada sendi, vena verikosa,
kesulitan bernafas.
f.
Kolelithiasis.
g.
Kematian
pada usia muda. Oleh karena luasnya dampak dari obesitas pada manusia sehingga
angka morbiditas meningkat dan akhirnya angka mortalitas juga meningkat.
Laporan OECD tahun 2010, mengungkapkan bahwa orang obesitas 8-10x lebih cepat
risiko meninggal dibanding orang yang tidak obesitas. Setiap kelebihan berat
badan 15 kg dari berat badan ideal maka akan meningkat risiko kematian sebesar
30%.
DAFPUS
Kementrian Kesehatan.
Riskesdas Dalam Angka Tahun 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI;
2014.
Ezzati M, Riboli E.
Behavior and Dietary Risk Factor for Non Communicable Diseases. N Eng J
Med. 2013; 369: 954-964. doi: 10.1056/NEJMra1203528.
Marul,2018, Epidemi obesitas dan dampaknya terhadap
status kesehatan masyarakat serta sosial ekonomi bangsa,Padang, Majalah
Kedokteran Andalas, Vol. 41, No. 3,
September 2018, Hal. 152-162.
Taraming,
Yasinta N.; Marsella D. Amisi; dan Nelly Mayulu. 2019. Hubungan Antara
Status Sosial Ekonomi Dengan Status Gizi Pada Anak Usia 24-59 Bulan Di Desa
Tiwoho Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal KESMAS. 8 (7).
278-284
Budi
Wahyudi, Faisol; Sriyono; dan Retno Indarwati. 2015. Analisis Faktor Yang
Berkaitan Dengan Kasus Gizi Buruk Pada Balita. Jurnal Pediomaternal. 3 (1).
83-91.
Kementrian
Kesehatan. 2018. Hasil Utama RISKESDAS tahun 2018. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
Rahmiwati, Anita; Rico Januar Sitorus; Ditia Fitri Arinda;
dan Feranita Utama. 2018. Determinan Obesitas Pada Anak Usia Sekolah Dasar.
Jurnal Kesehatan. 11 (2). 25-34.
Alamsyah,
Dedi; Maria Mexitalia; Ani Margawati; Suharyo Hadisaputro; Henry Setyawan.
2017. Beberapa Faktor Risiko Gizi Kurang dan Gizi Buruk pada Balita 12-59
Bulan (Studi Kasus di Kota Pontianak). Jurnal Epidemiologi Kesehatan
Komunitas. 2 (1). 54-62.
Afriyani,
Rahmalia. 2019. Faktor Resiko Gizi Kurang Pada Balita Usia
1-3 Tahun. Babul Ilmi_Jurnal Ilmiah Multi Science Kesehatan. 11.
145-153.
No comments:
Post a Comment