SEJARAH KORUPSI INDONESIA :
1. PASCA KOLONIAL PENJAJAH BARAT :
Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC memecah
Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta.
Tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua
daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran.
Kesultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan
Yogyakarta dan Pakualaman.
Dalam buku History of Java karya Thomas Stamford Raffles
(Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), Hal
menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa.
Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun,
di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak
terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu
keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui. Hal menarik
lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak
(abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari
perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau
berperilaku oportunis.
Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung,
dihormati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran.
Dalam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan
mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan”
miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak
“penguasa”.
Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut
menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga
melakukan “korup” dalam mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat yang akan
diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada
Tumenggung. Abdi dalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga
mengkorup harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.Kebiasaan
mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh
Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 - 1942) minus Zaman Inggris (1811 -
1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat
terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825-1830), Imam
Bonjol (1821-1837), Aceh (1873-1904) dan lain-lain.
2. PASCA MERDEKA (ORMA)
Dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi, Panitia Retooling
Aparatur Negara (PARAN) dibentuk berdasarkan UU Keadaan Bahaya, dipimpin oleh
A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan
Abdulgani. Namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati
menjalankannya.Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya
pemberantasan korupsi kembali digalakkan. A.H. Nasution yang saat itu menjabat
sebagai Menkohankam/Kasab dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugasnya yaitu
meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan. Lembaga ini di kemudian hari
dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan
negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi
dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan.
3. PASCA MERDEKA (ORBA)
Dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai
Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidakseriusan TPK dalam
memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan
unjuk rasa memprotes keberadaan TPK.
Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina,
Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang
korupsi. Maraknya gelombang p
rotes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya
ditanggapi Soeharto.Dibentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang
dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, I.J Kasimo, Mr Wilopo dan
A Tjokroaminoto. Tugasnya yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen
Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite
ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di
Pertamina tak direspon pemerintah.Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib,
dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) dengan tugas antara lain juga memberantas
korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah
Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam
antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara
pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam
memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada
Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu,
Opstib pun hilang tanpa bekas sama sekali.
3. PASCA REFORMASI
Pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara
negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas.
Presiden BJ Habibie mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut
pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga
Ombudsman.
Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) dengan Peraturan Pemerintah Nomor
19 Tahun 2000 Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi
dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya
dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya pemberantasan
KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Presiden Gus Dur juga
dianggap tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya
pemberantasan korupsi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan
konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera
kasus Buloggate.
Di masa pemerintahan Megawati, wibawa hukum semakin
merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan.
Konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan
alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu
Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari
jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang
utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam
upaya memberantas korupsi. Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi
perlindungan kepada para pengusaha besar yang notabene memberi andil bagi
kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan
wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era
Reformasi.
Vox Populi Vox Dei Devide et impera (Politik pecah belah)
atau politik adu domba adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi
yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok
besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam
konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil
untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.
Unsur-unsur yang dijadikan teknik dalam politik ini adalah:
-Menciptakan atau mendorong perpecahan dalam masyarakat
untuk mencegah aliansi yang bisa menentang kekuasaan berdaulat.
-Membantu dan mempromosikan mereka yang bersedia untuk
bekerja sama dengan kekuasaan yang berdaulat.
-Mendorong ketidakpercayaan dan permusuhan antar
masyarakat.
-Mendorong konsumerisme yang berkemampuan untuk melemahkan
biaya politik dan militer
No comments:
Post a Comment